Analisis Wacana “Jurang
saya Amba lan Jero” pada Rubrik Pangudarasa Panjebar Semangat
A.
Pendahuluan
Wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang
dibentuk dari rentetan kalimat yang kontinuitas, kohesif, dan koheren sesuai
dengan konteks situasi. (Yayat Sudaryat, 2009 : 111). Wacana sebagai dasar
dalam pemahaman teks sangat diperlukan oleh penutur dan mitra tutur dalam
berkomunikasi dengan informasi yang utuh. Dengan wacana seorang penutur bisa
menyampaikan gagasannya secara urut dan utuh sehingga akan tercipta satu
kesatuan bahasa yang bisa dengan mudah dipahami oleh mitra tuturnya. Dengan
wacana pula, seseorang dapat memperoleh informasi tentang segala aspek
kehidupan yang ada di sekitar.
Analisis wacana merupakan salah satu cara yang
sangat dibutuhkan untuk mengimbangi perkembangan ilmu kajian wacana yang dewasa
ini berkembang di berbagai aspek kehidupan. Dan Rubrik Pangudarasa pada majalah
Panjebar Semangat ini merupakan salah satu wacana yang perlu untuk dianalisis
karena dengan analisis tersebut para pembaca selaku mitra tutur dalam kegiatan
berbahasa akan lebih memahami aspek kekohesian yang menjadikan sebuah wacana
menjadi lebih padu. Wacana yang padu akan lebih mudah dipahami oleh pembaca
sehingga meminimalisr terjadinya kesalahpahaman atau penyimpangan terhadap
maksud yang ingin disampaikan oleh penulis atau mitra tutur. Rubrik yang berisi
pendapat, opini, maupun kritik seseorang terhadap fenomena-fenomena yang
terjadi ini sebagai bentuk media masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
Begitu pula, dengan salah satu rubrik pangudarasa yang berjudul “Jurang saya Amba lan Jero” sebagai
objek analisis wacana ini menggambarkan keprihatinan seseorang akan kondisi
masyarakat yang dirasa terpisah jauh dengan para anggota legislatif yang
sebenarnya wakil dari masyarakat itu sendiri sebagai penampung aspirasi mereka.
Adapun analisis wacana ini meliputi aspek-aspek gramatikal dan aspek-aspek
leksikal yang merupakan unsur kesatuan dalam sebuah wacana.
B.
Analisis
Aspek Gramatikal Wacana
Aspek
gramatikal suatu wacana merupakan analisi wacana dari segi bentuk atau
strukturlahir wacana. Analisis wacana dari aspek gramatikal atau kohesi
gramatikal meliputi referensi (pengacuan), substitusi (penyulihan), elipsis (pelesapan),
dan konjungsi (perangkaian).
1.
Referensi
(Pengacuan)
Referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal
yang berupa satuan lingual tertentu yang menunjuk satuan lingual yang
mendahului atau mengikutinya. Referensi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
referensi persona, referensi demonstratif, dan referensi komparatif.
Sedangkan berdasarkan arah penunjukannya, kohesi
referensi dibedakan menjadi dua jenis yaitu referensi anaforis dan referensi
kataforis. Referensi anaforis ditandai oleh adanya unsur lingual yang menunjuk
unsur lingual di sebelah kiri, sedangkan referensi kataforis ditandai oleh
adanya unsur lingual yang mengacu unsur lingual di sebelah kanan.
Sebagai alat yang berfungsi untuk menciptakan
kepaduan wacana, referensi banyak ditemukan dalam wacana Pangudarasa pada
Panjebar Semangat “Jurang saya Amba lan Jero” ini.
a. Referensi
Personal
Referensi Personal direalisasikan melalui pronomina
persona (kata ganti orang), yang
meliputi persona pertama (persona I), persona kedua (persona II), dan persona
ketiga (persona III), baik tunggal maupun jamak.
Pada
wacana ini, kata kita (paragraf 5
kalimat 1) merupakan referensi persona, yaitu pronomina persona I jamak yang
menggantikan rakyat biasa yang telah
disebutkan pada paragraf sebelumnya.
b. Referensi
Demonstratif
Referensi Demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina waktu (temporal) dan pronomina tempat
(lokasional).
§ Kata
biyen (paragraf 1 kalimat 1)
merupakan referensi demonstratif temporal yang bersifat eksoforis, karena
mengacu pada zaman dahulu sebelum masa
reformasi yang tidak disebutkan secara langsung dalam wacana tersebut.
§
Kata saiki
(paragraf 1 kalimat 2)
merupakan referensi demonstratif temporal yang bersifat endoforis kataforis
karena mengacu pada kata sawise reformasi
yang terletak di sebelah kanannya.
§ Sedangkan
kata saiki (paragraf 9 kalimat 2)
merupakan referensi temporal yang bersifat endoforis anaforis yang mengacu pada
keadaan di masyarakat dan DPR pada saat ini yang telah disebutkan pada kalimat sebelumnya.
c. Referensi
komparatif
Referensi komparatif (perbandingan) ialah salah satu
jenis kohesi gramatikal yang bersifat memdandingkan dua hal atau lebih yang
mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk atau wujud.
Kata saumpama
diibaratake (paragraf 1 kalimat 1) merupakan referensi komparatif yang
berfungsi membandingkan antara kondisi hubungan rakyat dengan para anggota DPR
dengan ungkapan juglangan atau
lubang.
Selain, ketiga jenis referensi tersebut, terdapat
juga bentuk referensi endoforis kataforis yang terdapat pada bentuk –ne pada kata kesusahane (paragraf 2 kalimat 1) yang mengacu pada frasa rakyat cilik, pengasilane (paragraf 5
kalimat 1) yang mengacu pada anggota DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta pada kata kemaslahatane (paragraf 7 kalimat 4) dengan masyarakat sebagai acuannya.
Sedangkan referensi endoforis anaforis
juga ditemukan pada bentuk –ne yang
terdapat pada kata golongane
(paragraf 9 kalimat 2) yang mengacu pada wakil-wakil
rakyat.
2.
Substitusi
(penyulihan)
Substitusi merupakan salah satu kohesi gramatikal
yang berupa penggantian unsur lingual tertentu (yang telah disebut) dengan
unsur lingual yang lain. Substitusi dalam wacana digunakan untuk menambah
variasi bentuk, dinamisasi narasi, menghilangkan kemonotonan dan memperoleh
unsur pembeda. Dilihat dari segi lingualnya, substitusi dibedakan menjadi substitusi
nominal, verbal, frasal, dan klausal.
Adapun
substitusi yang terdapat dalam wacana ini, yaitu :
a. Substitusi
Nominal
Substitusi nominal
adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan
satuan lingual lain yang juga berkategori nomina dalam wacana untuk memperoleh
unsur pembeda.
Kata wong-wong (paragraf 9 kalimat 2) merupakan
jenis substitusi nominal yang menggantikan wakil-wakil
rakyat.
b. Substitusi
Verbal
Substitusi verbal
merupakan penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan
satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba.
Kata demo (paragraf 2 kalimat 2) merupakan
substitusi verbal yang menggantikan kata unjuk
rasa.
c. Substitusi
Klausal
Substitusi klausal
adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat
dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa.
Kata jurang (paragraf 1 kalimat 2) merupakan
substitusi klausal yang menggantikan klausa juglangan
sing saya suwe saya amba lan jero.
3.
Elipsis
(Pelesapan)
Elipsis merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal
yang berupa penghilangan unsur (konstituen) tertentu yang telah disebutkan.
Unsur yang dilesapkan bisa berupa kata, frasa, klausa, maupun kalimat. Elipsis
dalam wacana ini terdapat pada paragraf 2, yaitu :
Kosokbaline,
perwakilan DPRD kang rumangsa diuntungake kanthi anane PP kasebut, uga nggelar demo tandhingan, ǿ kang wose nintut supaya PP 37/2006 ora dibatalake.
Pada
kalimat tersebut kata demo tandhingan
dilesapkan pada kalimat berikutnya yang ditunjukkan dengan tanda ǿ.
4.
Konjungsi
(Perangkaian)
Konjungsi merupakan salah satu kohesi gramatikal
yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang
lain. Unsur-unsur yang dirangkaikan dapat berupa kata, frasa, klausa, kalimat,
alinea, topik pembicaraan dan alih topik atau pemarkah disjungtif.
a. Konjungsi
Penambahan (Aditif)
Konjungsi penambahan
berfungsi menghubungkan secara koordinatif antara klausa yang berada di sebelah
kirinya dengan klausa yang mengandung kata konjungsi aditif itu sendiri.
§ Kata
karo (paragraf 1 kalimat 1)
menyatakan konjugsi penambahan yaitu rakyat
umume yang kemudian ditambahkan dengan para
anggota DPR.
§ Sedangkan
kata karo (paragraph 5 kalimat 2) juga
memberikan makna penambahan antara unsur DPRD
Prov Jateng dengan isi PP 21/2007.
§ Begitu
pula dengan kata karo yang terdapat
pada paragraf 9 kalimat 2 yang merangkaikan unsur wakil rakyat dengan rakyat
yang katanya diwakili.
§ Konjugsi
penambahan juga ditemukan pada penggunaan kata lan pada wacana. Kata lan (paragraf 1 kalimat 2) merangkaikan kata saya amba dengan saya jero yang mempunyai
makna menambahkan.
§ Sedangkan
lan pada paragraf pertama kalimat 3 juga
merupakan konjungsi penambahan yang merangkaikan kalimat sebelumnya tentang
hubungan masyarakat dengan anggota DPR yang diibaratkan jurang yang kemudian dirangkaikan dengan kalimat berikutnya yang
menyatakan bahwa jurang yang terbentuk semakin dalam.
§ Begitu
pula dengan penggunaan kata lan pada
kalimat dan paragraf lain yang merupakan konjungsi penambahan yang berfungsi
merangkaikan antara dua unsur.
§ Pengggunaan
kata uga juga merupakan konjungsi
panambahan, yaitu kata uga (paragraf
3 kalimat 1) yang menambahkan pernyataan perwakilan
DPR kang rumangsa diunthungake dengan nggelar
demo tandhingan. Begitu pula dengan kata uga (paragraf 3 kalimat 5)
yang berfungsi menambahkan pernyataan PP
21/2007 kang wis diselarasake dengan pernyataan bahwa PP 21/2007 pranyata wis dileksanakake.
b. Konjungsi
Pertentangan
Konjungsi pertentangan
ditunjukkan dengan penggunaan kata nanging
sebagai penghubung dalam beberapa kalimat dalam wacana ini.
§ Konjungsi
nanging (paragraf 1 kalimat 2)
memberikan makna pertentangan antara kondisi rakyat sebelum masa reformasi yang
bertentangan dengan kondisi rakyat setelah reformasi.
§ Begitu
pula dengan penggunaan kata nanging
(paragraf 8 kalimat 2) untuk
menghubungkan kalimat panggawene
peraturan kudune para panyusun mikirake lan nggatekake ati sanubarine rakyat
yang memiliki makna bertentangan dengan kalimat ing rerangken iki sajake ora.
c. Konjungsi
Kelebihan (eksesif)
Konjungsi malah (paragraf 1 kalimat 2) memberikan
makna melebihkan. Pernyataan juglangan
mau saya suwe saya amba lan saya jero yang dilebihkan dengan pernyataan kena diarani ora mung trima juglangan.
Konjungsi malah juga digunakan pada
kalimat 1 paragraf 9 yang memberikan makna melebihkan.
d. Konjungsi
Sebab-Akibat
§ Konjungsi
mula (paragraf 2 kalimat 2)
menyatakan hubungan sebab akibat, yakni
kalimat tema demo isine uga mung
tuntutan supaya PP 37/2006 dibatalake sebagai akibat dari kalimat logikane masyarakat sing ngajak pamarentah
lan kalangan legislative gelema melu ngrasakake kesusahane rakyat cilik.
§ Konjungsi
amarga (paragraf 7 kalimat 2)
memberikan makna sebab akibat, yakni Dana
BPO kabare ora bisa dirapel yang disebabkan olah proses metune awewaton kinerja.
e. Konjungsi
Tujuan
Konjungsi supaya (paragraf 2 kalimat 2) memberikan
makna tujuan yakni tema demo isine mung
tuntutan dengan PP 37/2006 dibatalake sebagai tujuannya.
f. Konjungsi
Perlawanan
Konjungsi yang
menyatakan perlawanan terdapat pada penggunaan kata kosokbaline (paragraf 3 kalimat 1) yang memberikan hubungan antara
pernyataan rakyat yang ingin PP 37/2006 dibatalkan yang bertentangan dengan
perwakilan DPRD yang merasa diuntungkan dengan PP tersebut.
g. Konjungsi
Pilihan (alternatif)
Kata utawa (paragraf 4 kalimat 1) merupakan
konjungsi yang memberikan makna pilhan yaitu antara keputusan atau kebijakan. Begitu
pula, konjungsi utawa yang terdapat
pada paragraf 9 kalimat 2 yang memberikan makna pilihan antara mentingake awake dhewe dengan kepentingan golongan.
h. Konjungsi
Urutan (sekuensial)
§ Konjungsi
banjur (paragraf 4 kalimat 1)
memberikan makna urutan kejadian rakyat
kaya-kaya yang dilanjutkan dengan kelangan
kalodhangan.
§ Kata
sadurunge iku (paragraf 6 kalimat 3)
juga merupakan konjungsi yang memberikan makna urutan kejadian.
i.
Konjungsi Syarat
Konjungsi yang
menyatakan hubungan syarat ditunjukkan dengan penggunaan kata menawa (paragraf 5 kalimat 1) dan juga
konjungsi yen (paragraf 8 kalimat 1).
C.
Analisis
Aspek Leksikal Wacana
Aspek leksikal wacana atau kohesi leksikal merupakan
alat kohesi dalam wacana yang berkaitan dengan hubungan antarunsur dalam wacan
secara secara sistematis dan bukan secara gramatikal. Secara semantik, terdapat
sejumlah piranti kohesi leksikal untuk mewujudkan keutuhan sebuah wacana, yaitu
repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan kata), hiponimi
(hubungan atas bawah), dan kolokasi (sanding kata).
1.
Repetisi
(pengulangan)
Repetisi
adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, maupun bagian
kalimat) yang dianggap penting untuk member tekanan dalam sebuah konteks yang
sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau
kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi
epizueksis, tautotes, anafora, episfora, simploke, mesodiplosis, epanalepsis,
dan anadiplosis.
Dalam
wacana ini terdapat jenis repetisi tautotes. Repetisi tautotes merupakan
pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi.
Juglangan mau saya suwe saya amba lan saya jero. (paragraf
1 kalimat 2).
Kata saya (makin) diulang sebanyak tiga kali
dalam sebuah konstruksi.
2.
Sinonimi
(Padan Kata)
Sinonimi
atau padan kata merupakan alat kohesi leksikal dalam wacana yang menunjukkan
pemakaian lebih dari satu bentuk bahasa yang secara semantik memiliki kesamaan
atau kemiripan. Sinonimi dapat terjadi pada tataran morfem (bebas) dengan
morfem (terikat), kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa
dengan frasa, dan klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.
Dalam
wacana “Jurang saya Amba lan Jero” ini
terdapat beberapa jenis sinonimi, yaitu sebagai berikut :
§ Kata
isine (paragraf 2 kalimat 2) memiliki
kesamaan arti dengan kata wose
(paragraf 3 kalimat pertama) yang berarti isi, dimana dalam wacana ini
dimaksudkan isi dari PP no 37 tahun 2006.
§ Kata
unjuk rasa (paragraf 2 kalimat 1)
bersinonim dengan kata demo (paragraf
2 kalimat 2). Sedangkan kata mligine
(paragraf 5 kalimat 3) memiliki kemiripan arti dengan kata utamane (paragraf 9 kalimat 2).
§ Sinonimi
juga terdapat pada kata nuwuhake
(paragraf 1 kalimat 1)dengan kata mujudake
(paragraf 5 kalimat 1) yang berarti memunculkan.
3.
Antonimi
(Lawan Kata)
Antonimi
atau lawan kata disebut juga dengan oposisi makna. Oposisi makna merupakan
konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja.
Berdasarkan
sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu oposisi mutlak,
oposisi kutub, oposisi hubungan, oposisi hirarkial, dan oposisi majemuk.
Adapun
oposisi yang terdapat dalam wacana “Jurang saya Amba lan Jero” ini, yaitu
sebagai berikut :
a. Oposisi
Mutlak
Oposisi mutlak
merupakan pertentangan makna secara mutlak. Misalnya dalam wacana ini terdapat
kata biyen (paragraf 1 kalimat 1)
yang berarti dahulu berlawanan makna
dengan kata saiki (paragraf 1 kalimat
2) yang memiliki arti sekarang.
b. Oposisi
kutub
Oposisi kutub merupakan
oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Pada wacana
ini terdapat oposisi kutub antara kata kasusahan
(paragraf 2 kalimat 1) dengan kata kemaslahatan
(paragraf 8 kalimat 4 ).
c. Oposisi
Majemuk
Oposisi majemuk
merupakan oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua).
Oposisi majemuk terdapat pada kata nulak
(paragraf 2 kalimat satu) yang berarti menolak,
berlawanan makna dengan kata nampa
(paragraf 7 kalimat 1) yang berarti menerima.
4.
Kolokasi
(Sanding Kata)
Kolokasi
merupakan asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung
digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang
cenderung dipakai dalam sautu domain atau jaringan tertentu.
Dalam wacana “Jurang
saya Amba lan Jero” ini terdapat hubungan kolokasi yaitu kata-kata yang berada
dalam lingkungan pemerintahan diantaranya anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, anggota legislatif, dan anggota DPRD.
5.
Hiponimi
(Hubungan Atas Bawah)
Hiponimi
merupakan alat kohesi leksikal yang makna kata-katanya merupakan bagian dari
makna kata yang lain. Kata yang mencakupi beberapa kata yang berhiponim disebut
hipernim atau superordinat. Dalam wacana ini, terdapat kata Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai hipernimnya. Sedangkan hiponimnya terdapat anggota DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota.
6.
Ekuivalensi
(Kesepadanan)
Ekuivalensi
merupakan hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan
lingual yang lain dalam dalam sebuah paradigma.
Ekuivalensi
dalam wacana ini ditunjukkan dengan kata rapelan
(paragraf 1 kalimat 4) dan kata dirapel
(paragraf 7 kalimat 2). Kata rapelan dan dirapel memiliki hubungan kesepadanan
karena berasal dari satuan lingual asal rapel.
D.
Simpulan
Berdasarkan analisis wacana yang telah dilakukan
pada wacana rubrik Pangudarasa “Jurang saya Amba lan Jero” pada majalah
Panjebar Semangat yang mengkaji aspek-aspek gramatikal dan aspek-aspek leksikal
suatu wacana didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Aspek
gramatikal yang terdapat dalam wacana meliputi pengacuan (referensi),
penyulihan (substitusi), pelesapan (ellipsis), serta perangkaian (konjungsi)
2. Aspek
leksikal yang terdapat dalam wacana meliputi: pengulangan (repetisi), padan
kata (sinonimi), lawan kata (antonimi), hubungan atas bawah (hiponimi), sanding
kata (kolokasi), serta kesepadanan (ekuivalensi).
Dengan kedua aspek tersebut suatu wacana
akan memiliki keterpaduan jika dilihat dari segi hubungan bentuk atau struktur
lahirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar