Jumat, 29 Juni 2012

Analisis Aspek Gramatikal dan Leksikal Wacana


Analisis Wacana “Jurang saya Amba lan Jero” pada Rubrik Pangudarasa Panjebar Semangat

A.               Pendahuluan

Wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang dibentuk dari rentetan kalimat yang kontinuitas, kohesif, dan koheren sesuai dengan konteks situasi. (Yayat Sudaryat, 2009 : 111). Wacana sebagai dasar dalam pemahaman teks sangat diperlukan oleh penutur dan mitra tutur dalam berkomunikasi dengan informasi yang utuh. Dengan wacana seorang penutur bisa menyampaikan gagasannya secara urut dan utuh sehingga akan tercipta satu kesatuan bahasa yang bisa dengan mudah dipahami oleh mitra tuturnya. Dengan wacana pula, seseorang dapat memperoleh informasi tentang segala aspek kehidupan yang ada di sekitar.
Analisis wacana merupakan salah satu cara yang sangat dibutuhkan untuk mengimbangi perkembangan ilmu kajian wacana yang dewasa ini berkembang di berbagai aspek kehidupan. Dan Rubrik Pangudarasa pada majalah Panjebar Semangat ini merupakan salah satu wacana yang perlu untuk dianalisis karena dengan analisis tersebut para pembaca selaku mitra tutur dalam kegiatan berbahasa akan lebih memahami aspek kekohesian yang menjadikan sebuah wacana menjadi lebih padu. Wacana yang padu akan lebih mudah dipahami oleh pembaca sehingga meminimalisr terjadinya kesalahpahaman atau penyimpangan terhadap maksud yang ingin disampaikan oleh penulis atau mitra tutur. Rubrik yang berisi pendapat, opini, maupun kritik seseorang terhadap fenomena-fenomena yang terjadi ini sebagai bentuk media masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Begitu pula, dengan salah satu rubrik pangudarasa yang berjudul “Jurang saya Amba lan Jero” sebagai objek analisis wacana ini menggambarkan keprihatinan seseorang akan kondisi masyarakat yang dirasa terpisah jauh dengan para anggota legislatif yang sebenarnya wakil dari masyarakat itu sendiri sebagai penampung aspirasi mereka. Adapun analisis wacana ini meliputi aspek-aspek gramatikal dan aspek-aspek leksikal yang merupakan unsur kesatuan dalam sebuah wacana.

B.               Analisis Aspek Gramatikal Wacana

Aspek gramatikal suatu wacana merupakan analisi wacana dari segi bentuk atau strukturlahir wacana. Analisis wacana dari aspek gramatikal atau kohesi gramatikal meliputi referensi (pengacuan), substitusi (penyulihan), elipsis (pelesapan), dan konjungsi (perangkaian).

1.    Referensi (Pengacuan)
Referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang menunjuk satuan lingual yang mendahului atau mengikutinya. Referensi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu referensi persona, referensi demonstratif, dan referensi komparatif.
Sedangkan berdasarkan arah penunjukannya, kohesi referensi dibedakan menjadi dua jenis yaitu referensi anaforis dan referensi kataforis. Referensi anaforis ditandai oleh adanya unsur lingual yang menunjuk unsur lingual di sebelah kiri, sedangkan referensi kataforis ditandai oleh adanya unsur lingual yang mengacu unsur lingual di sebelah kanan.
Sebagai alat yang berfungsi untuk menciptakan kepaduan wacana, referensi banyak ditemukan dalam wacana Pangudarasa pada Panjebar Semangat “Jurang saya Amba lan Jero” ini.
a.       Referensi Personal
Referensi Personal direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang),  yang meliputi persona pertama (persona I), persona kedua (persona II), dan persona ketiga (persona III), baik tunggal maupun jamak.
Pada wacana ini, kata kita (paragraf 5 kalimat 1) merupakan referensi persona, yaitu pronomina persona I jamak yang menggantikan rakyat biasa yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya.
b.      Referensi Demonstratif
Referensi Demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina waktu (temporal) dan pronomina tempat (lokasional).
§  Kata biyen (paragraf 1 kalimat 1) merupakan referensi demonstratif temporal yang bersifat eksoforis, karena mengacu pada zaman dahulu sebelum masa reformasi yang tidak disebutkan secara langsung dalam wacana tersebut.
§  Kata saiki (paragraf 1 kalimat 2) merupakan referensi demonstratif temporal yang bersifat endoforis kataforis karena mengacu pada kata sawise reformasi yang terletak di sebelah kanannya.
§  Sedangkan kata saiki (paragraf 9 kalimat 2) merupakan referensi temporal yang bersifat endoforis anaforis yang mengacu pada keadaan di masyarakat dan DPR pada saat ini yang telah disebutkan pada kalimat sebelumnya.
c.       Referensi komparatif
Referensi komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat memdandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk atau wujud.
Kata saumpama diibaratake (paragraf 1 kalimat 1) merupakan referensi komparatif yang berfungsi membandingkan antara kondisi hubungan rakyat dengan para anggota DPR dengan ungkapan juglangan atau lubang.

Selain, ketiga jenis referensi tersebut, terdapat juga bentuk referensi endoforis kataforis yang terdapat pada bentuk –ne pada kata kesusahane (paragraf 2 kalimat 1) yang mengacu pada frasa rakyat cilik, pengasilane (paragraf 5 kalimat 1) yang mengacu pada anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta pada kata kemaslahatane (paragraf 7 kalimat 4) dengan masyarakat sebagai acuannya.
            Sedangkan referensi endoforis anaforis juga ditemukan pada bentuk –ne yang terdapat pada kata golongane (paragraf 9 kalimat 2) yang mengacu pada wakil-wakil rakyat.

2.      Substitusi (penyulihan)
Substitusi merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa penggantian unsur lingual tertentu (yang telah disebut) dengan unsur lingual yang lain. Substitusi dalam wacana digunakan untuk menambah variasi bentuk, dinamisasi narasi, menghilangkan kemonotonan dan memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari segi lingualnya, substitusi dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal.
Adapun substitusi yang terdapat dalam wacana ini, yaitu :
a.       Substitusi Nominal
Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda.
Kata wong-wong (paragraf 9 kalimat 2) merupakan jenis substitusi nominal yang menggantikan wakil-wakil rakyat.
b.      Substitusi Verbal
Substitusi verbal merupakan penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba.
Kata demo (paragraf 2 kalimat 2) merupakan substitusi verbal yang menggantikan kata unjuk rasa.
c.       Substitusi Klausal
Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa.
Kata jurang (paragraf 1 kalimat 2) merupakan substitusi klausal yang menggantikan klausa juglangan sing saya suwe saya amba lan jero.

3.      Elipsis (Pelesapan)
Elipsis merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan unsur (konstituen) tertentu yang telah disebutkan. Unsur yang dilesapkan bisa berupa kata, frasa, klausa, maupun kalimat. Elipsis dalam wacana ini terdapat pada paragraf 2, yaitu :
Kosokbaline, perwakilan DPRD kang rumangsa diuntungake kanthi anane PP kasebut, uga nggelar demo tandhingan, ǿ kang wose nintut supaya PP 37/2006 ora dibatalake.
Pada kalimat tersebut kata demo tandhingan dilesapkan pada kalimat berikutnya yang ditunjukkan dengan tanda ǿ.

4.      Konjungsi (Perangkaian)
Konjungsi merupakan salah satu kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain. Unsur-unsur yang dirangkaikan dapat berupa kata, frasa, klausa, kalimat, alinea, topik pembicaraan dan alih topik atau pemarkah disjungtif.
a.       Konjungsi Penambahan (Aditif)
Konjungsi penambahan berfungsi menghubungkan secara koordinatif antara klausa yang berada di sebelah kirinya dengan klausa yang mengandung kata konjungsi aditif itu sendiri.
§  Kata karo (paragraf 1 kalimat 1) menyatakan konjugsi penambahan yaitu rakyat umume yang kemudian ditambahkan dengan para anggota DPR.
§  Sedangkan kata karo (paragraph 5 kalimat 2) juga memberikan makna penambahan antara unsur DPRD Prov Jateng dengan isi PP 21/2007.
§  Begitu pula dengan kata karo yang terdapat pada paragraf 9 kalimat 2 yang merangkaikan unsur wakil rakyat dengan rakyat yang katanya diwakili.
§  Konjugsi penambahan juga ditemukan pada penggunaan kata lan pada wacana.  Kata lan  (paragraf 1 kalimat 2) merangkaikan kata saya amba dengan saya jero yang mempunyai makna menambahkan.
§  Sedangkan lan pada paragraf pertama kalimat 3 juga merupakan konjungsi penambahan yang merangkaikan kalimat sebelumnya tentang hubungan masyarakat dengan anggota DPR yang diibaratkan jurang yang kemudian dirangkaikan dengan kalimat berikutnya yang menyatakan bahwa jurang yang terbentuk semakin dalam.
§  Begitu pula dengan penggunaan kata lan pada kalimat dan paragraf lain yang merupakan konjungsi penambahan yang berfungsi merangkaikan antara dua unsur.
§  Pengggunaan kata uga juga merupakan konjungsi panambahan, yaitu kata uga (paragraf 3 kalimat 1) yang menambahkan pernyataan perwakilan DPR kang rumangsa diunthungake dengan nggelar demo tandhingan. Begitu pula dengan kata uga  (paragraf 3 kalimat 5) yang berfungsi menambahkan pernyataan PP 21/2007 kang wis diselarasake dengan pernyataan bahwa PP 21/2007 pranyata wis dileksanakake.
b.      Konjungsi Pertentangan
Konjungsi pertentangan ditunjukkan dengan penggunaan kata nanging sebagai penghubung dalam beberapa kalimat dalam wacana ini.
§ Konjungsi nanging (paragraf 1 kalimat 2) memberikan makna pertentangan antara kondisi rakyat sebelum masa reformasi yang bertentangan dengan kondisi rakyat setelah reformasi.
§ Begitu pula dengan penggunaan kata nanging (paragraf  8 kalimat 2) untuk menghubungkan kalimat panggawene peraturan kudune para panyusun mikirake lan nggatekake ati sanubarine rakyat yang memiliki makna bertentangan dengan kalimat ing rerangken iki sajake ora.
c.       Konjungsi Kelebihan (eksesif)
Konjungsi malah (paragraf 1 kalimat 2) memberikan makna melebihkan. Pernyataan juglangan mau saya suwe saya amba lan saya jero yang dilebihkan dengan pernyataan kena diarani ora mung trima juglangan. Konjungsi malah juga digunakan pada kalimat 1 paragraf 9 yang memberikan makna melebihkan.
d.      Konjungsi Sebab-Akibat
§  Konjungsi mula (paragraf 2 kalimat 2) menyatakan hubungan sebab akibat, yakni  kalimat tema demo isine uga mung tuntutan supaya PP 37/2006 dibatalake sebagai akibat dari kalimat logikane masyarakat sing ngajak pamarentah lan kalangan legislative gelema melu ngrasakake kesusahane rakyat cilik.
§  Konjungsi amarga (paragraf 7 kalimat 2) memberikan makna sebab akibat, yakni Dana BPO kabare ora bisa dirapel yang disebabkan olah proses metune awewaton kinerja.
e.       Konjungsi Tujuan
Konjungsi supaya (paragraf 2 kalimat 2) memberikan makna tujuan yakni tema demo isine mung tuntutan dengan  PP 37/2006 dibatalake sebagai tujuannya.
f.       Konjungsi Perlawanan
Konjungsi yang menyatakan perlawanan terdapat pada penggunaan kata kosokbaline (paragraf 3 kalimat 1) yang memberikan hubungan antara pernyataan rakyat yang ingin PP 37/2006 dibatalkan yang bertentangan dengan perwakilan DPRD yang merasa diuntungkan dengan PP tersebut.
g.      Konjungsi Pilihan (alternatif)
Kata utawa (paragraf 4 kalimat 1) merupakan konjungsi yang memberikan makna pilhan yaitu antara keputusan atau kebijakan. Begitu pula, konjungsi utawa yang terdapat pada paragraf 9 kalimat 2 yang memberikan makna pilihan antara mentingake awake dhewe dengan kepentingan golongan.
h.      Konjungsi Urutan (sekuensial)
§  Konjungsi banjur (paragraf 4 kalimat 1) memberikan makna urutan kejadian rakyat kaya-kaya yang dilanjutkan dengan kelangan kalodhangan.
§  Kata sadurunge iku (paragraf 6 kalimat 3) juga merupakan konjungsi yang memberikan makna urutan kejadian.
i.        Konjungsi Syarat
Konjungsi yang menyatakan hubungan syarat ditunjukkan dengan penggunaan kata menawa (paragraf 5 kalimat 1) dan juga konjungsi yen (paragraf 8 kalimat 1).

C.               Analisis Aspek Leksikal Wacana

Aspek leksikal wacana atau kohesi leksikal merupakan alat kohesi dalam wacana yang berkaitan dengan hubungan antarunsur dalam wacan secara secara sistematis dan bukan secara gramatikal. Secara semantik, terdapat sejumlah piranti kohesi leksikal untuk mewujudkan keutuhan sebuah wacana, yaitu repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), antonimi (lawan kata), hiponimi (hubungan atas bawah), dan kolokasi (sanding kata).

1.      Repetisi (pengulangan)
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, maupun bagian kalimat) yang dianggap penting untuk member tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizueksis, tautotes, anafora, episfora, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis.
Dalam wacana ini terdapat jenis repetisi tautotes. Repetisi tautotes merupakan pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi.
Juglangan mau saya suwe saya amba lan saya jero. (paragraf 1 kalimat 2).
Kata saya (makin) diulang sebanyak tiga kali dalam sebuah konstruksi.

2.      Sinonimi (Padan Kata)
Sinonimi atau padan kata merupakan alat kohesi leksikal dalam wacana yang menunjukkan pemakaian lebih dari satu bentuk bahasa yang secara semantik memiliki kesamaan atau kemiripan. Sinonimi dapat terjadi pada tataran morfem (bebas) dengan morfem (terikat), kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa dengan frasa, dan klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.
Dalam wacana “Jurang saya Amba lan Jero”  ini terdapat beberapa jenis sinonimi, yaitu sebagai berikut :
§  Kata isine (paragraf 2 kalimat 2) memiliki kesamaan arti dengan kata wose (paragraf 3 kalimat pertama) yang berarti isi, dimana dalam wacana ini dimaksudkan isi dari PP no 37 tahun 2006.
§  Kata unjuk rasa (paragraf 2 kalimat 1) bersinonim dengan kata demo (paragraf 2 kalimat 2). Sedangkan kata mligine (paragraf 5 kalimat 3) memiliki kemiripan arti dengan kata utamane (paragraf 9 kalimat 2).
§  Sinonimi juga terdapat pada kata nuwuhake (paragraf 1 kalimat 1)dengan kata mujudake (paragraf 5 kalimat 1) yang berarti memunculkan.

3.      Antonimi (Lawan Kata)
Antonimi atau lawan kata disebut juga dengan oposisi makna. Oposisi makna merupakan konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja.
Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu oposisi mutlak, oposisi kutub, oposisi hubungan, oposisi hirarkial, dan oposisi majemuk.
Adapun oposisi yang terdapat dalam wacana “Jurang saya Amba lan Jero” ini, yaitu sebagai berikut :
a.       Oposisi Mutlak
Oposisi mutlak merupakan pertentangan makna secara mutlak. Misalnya dalam wacana ini terdapat kata biyen (paragraf 1 kalimat 1) yang berarti dahulu berlawanan makna dengan kata saiki (paragraf 1 kalimat 2) yang memiliki arti sekarang.
b.      Oposisi kutub
Oposisi kutub merupakan oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Pada wacana ini terdapat oposisi kutub antara kata kasusahan (paragraf 2 kalimat 1) dengan kata kemaslahatan (paragraf 8 kalimat 4 ).
c.       Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk merupakan oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua). Oposisi majemuk terdapat pada kata nulak (paragraf 2 kalimat satu) yang berarti menolak, berlawanan makna dengan kata nampa (paragraf 7 kalimat 1) yang berarti menerima.


4.      Kolokasi (Sanding Kata)
Kolokasi merupakan asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam sautu domain atau jaringan tertentu.
Dalam wacana “Jurang saya Amba lan Jero” ini terdapat hubungan kolokasi yaitu kata-kata yang berada dalam lingkungan pemerintahan diantaranya anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota legislatif, dan anggota DPRD.

5.      Hiponimi (Hubungan Atas Bawah)
Hiponimi merupakan alat kohesi leksikal yang makna kata-katanya merupakan bagian dari makna kata yang lain. Kata yang mencakupi beberapa kata yang berhiponim disebut hipernim atau superordinat. Dalam wacana ini, terdapat kata Dewan Perwakilan Rakyat sebagai hipernimnya. Sedangkan hiponimnya terdapat anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

6.      Ekuivalensi (Kesepadanan)
Ekuivalensi merupakan hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam dalam sebuah paradigma.
Ekuivalensi dalam wacana ini ditunjukkan dengan kata rapelan (paragraf 1 kalimat 4) dan kata dirapel (paragraf 7 kalimat 2). Kata rapelan dan dirapel memiliki hubungan kesepadanan karena berasal dari satuan lingual asal rapel.


D.               Simpulan

Berdasarkan analisis wacana yang telah dilakukan pada wacana rubrik Pangudarasa “Jurang saya Amba lan Jero” pada majalah Panjebar Semangat yang mengkaji aspek-aspek gramatikal dan aspek-aspek leksikal suatu wacana didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1.      Aspek gramatikal yang terdapat dalam wacana meliputi pengacuan (referensi), penyulihan (substitusi), pelesapan (ellipsis), serta perangkaian (konjungsi)
2.      Aspek leksikal yang terdapat dalam wacana meliputi: pengulangan (repetisi), padan kata (sinonimi), lawan kata (antonimi), hubungan atas bawah (hiponimi), sanding kata (kolokasi), serta kesepadanan (ekuivalensi).
Dengan kedua aspek tersebut suatu wacana akan memiliki keterpaduan jika dilihat dari segi hubungan bentuk atau struktur lahirnya.

Kamis, 21 Juni 2012

sinau nggurit


Donga
Wengi iki
nalika candra andhadhar
lintang-lintange cahya sumunar
tan lali Bayu liwat nyumiliri driya
dakparani parane gumricike toya
mbasuh jiwa lan raga
siyaga nyembah mring Kuwasa
Ing sujudku lan dedonga
dakpasrahake apa kang ana
marang Raja kan nguwasani donya
moga bisa luwih miguna

Selasa, 19 Juni 2012


Ketilang


Dina iki kancaku Reni ulang taun kaping pitulas, yen padha ngarani jenenge taun sweet seventeen, taun sing paling istimewa, akeh kedadeyan sing gawe kesengsem ing ati, ana uga sing ngarani yen wis umur pitulas taun diarani wis dewasa, ora dianggep bocah cilik maneh. Mula kuwi, aku lan kanca-kancaku sing awit isih SMP kekancanan karo Reni yaiku aku, Dewi, lan Mita duwe rencana kanggo ulang taune Reni. Aku, Dewi, lan Mita bisa mlebu ing SMA sing padha senajan jurusane beda, nanging Reni luwih milih mlebu ing SMA liya, jare jalarane wong tuwane ora saguh mbayar biaya mlebune.
Dhewe  duwe rencana arep gawe acara kanggo ngrayakake ulang taune Reni, nanging acara kuwi aja nganti dingerteni  Reni dhisik, yen wis ngerti mengko jenenge ora surprise maneh. Aku lan kanca-kancaku arep teka ing omahe Reni karo gawa roti tar lan kado. Dhewe wis tuku kadone awit seminggu kepungkur, kadone mung cangkir beling. Senajan regane ora sepiro nanging sing penting bisa gawe tandha katresnan marang kanca. Yen roti tare arep tuku awan iki budhal saka sekolah sadurunge mangkat ing omahe Reni.
Amarga mung aku sing duwe sapedha motor, mula Dewi karo Mita arep tak langsir saka siji menyang  omahe Reni. Sing sepisan dakterake yaiku Dewi,  sisan tuku roti dhisik ing pasar. Sawise entuk rotine banjur mangkat ing omahe Reni, kamangka Mita ngenteni ing prapatan bangjo.
Dewi wis ing omahe Reni, tanpa mlebu omahe aku banjur methuk Mita. Anggonku ngegas sepedha motor  dakpolke, kuwatir yen Mita kesuwen anggone ngenteni. Nanging ora dinyana ana alangan ing dalan.
Saking bantere anggonku numpak sepedha motor, aku ora nggatekake sakiwa tengene dalan,ing pikiranku mung cepet tekan prapatan bangjo supaya Mita ora kesuwen anggone ngenteni.  Nalika ing belokan cedhak pom bensin, atiku krasa maktratap. Dumadakan ing ngarepku ana polisi ngadek ing tengahe dalan pas ing garis marka sing wernane putih kae.
“Minggir dhisik mbak !” celathu polisi karo tangane ngawe-ngawe menehi tandha yen aku diakon mandeg lan minggir. “Wuah, operasi gabungan iki, bakal ketilang aku, aku durung duwe SIM.” Batinku karo deg-degan keweden yen tenan ketilang,  kamangka rong wulan kepungkur aku wis ketilang jalaran durung duwe SIM nganti ngentekake duit 150ewu kanggo nebus STNK motor, lha yen saiki ketilang maneh rak yo kojor  tenan aku, durung yen mengko entuk wejangan saka bapaku yen ngerti ketilang maneh.
Tanpa pikir dawa kanggo ngindari polisi mau, aku belok ing salon sing mapan ing ngarep pom bensin. Motorku dakpakirake ing ngarep salon mau, banjur aku mlebu ing salon. Niatku yo arep ethok-ethok mlebu salon arep potong rambut apa arep facial lan apa lah sing biasane dilakokake ing salon supaya ora diparani polisi banjur ditakoni surat-surat kelengkapan motorku.
“Ngapa dhek ? Ketilang ?”, ujar salah sijine pegawai ing salon. “Aku durung ketilang kok mas, nanging aku sengaja mlebu mrene gen ora ditakoni, aku durung duwe SIM mas.” wangsulanku karo misosolen amarga wedi. “ Yo wis lungguh kene wae dhek, mumpet kene. Memang polisi gaweane mung golek dhuwit nganggo cara-cara ngono kuwi dhek, ora mikirake butuhe wong cilik, apamaneh kowe sing isih sekolah mesthi kan yo mesake.” mas salon mau ngomong mangkono karo masang handhuk ing gegerku, kayadene yen arep potong rambut ngono kae. Menawa mesake karo aku, bocah SMA mesthi durung duwe SIM, motore yo motore bapake, lan sing paling dadi alasan  dimesakake ya mesthi ora duwe dhuwit. Atiku wis rada ayem, ana sing ngewangi supaya aku bisa mumpet saka polisi.
Nanging ora suwe ana polisi mlebu salon, lan bengok sajake ya goleki aku kanggo ditakoni macem-macem babagan surat lan sapiturute. “ Mbak, ini motormu ? Keluar sebentar mbak, saya periksa surat-suratnya.”
Aku mung meneng wae bingung arep ngomong piye. Ibu-ibu sing lagi ing jero salon sajake padha mbela aku, ibu-ibu mau padha ngomong yen aku iki markirke motor ing ngarep salon amarga arep nyalon. Nanging polisi mau ora percaya, “Saya tahu kamu tidak punya surat-surat yang lengkap, makanya kamu mumpet.” ujare polisi mau maneh. Aku yo tetep meneng wae lan nerusake ethok-ethok potong rambut nganti polisi lunga dhewe. “Alhamdulillah.” batinku rada ayem jalaran polisi mau wis lunga.
Nanging ora suwe polisi mau teka maneh karo ngomong , “ Mbak, kalau tidak mau menghadap saya, nanti motornya saya bawa ke kantor polisi. ” Polisine ngenteni wangsulan saka aku lan metu kanggo meruhake surat-surate. Nanging isih kaya mau, aku mung meneng wae tanpa wangsulan. Aku wis bingung banget, arep wadul, wadul karo sapa. Karo bapaku wedi yen diseneni, masku mesthine yo kerja, Dewi utawa Mita apamaneh, mesthi ya ora bisa mbantu. Ditambah apese maneh jebul HPku bateraine enthek, dadi ora bisa ngubungi wong kanggo jaluk tulung. Aku banjur nyilih HP ibu-ibu ing salon lan salah sawijine ibu-ibu mau gelem nyilihi aku. Sing kaping pisan daksms Mita, amarga mesthi wis ngenteni aku suwe banget, banjur Dewi kanggo ngabari yen aku ora bisa cepet tekan omahe Reni amarga ana operasi gabungan  ing ngarep pom bensin.
Sawise sms Mita lan Dewi aku nyoba metu kanggo niliki kahanan ing jobo. Nanging, aku kaget banget nalika motorku sing dakparkir ing ngarep mau ora ana. Aku bingung motorku digawa sapa, banjur aku metu. Eladalah, jebul motorku digawa tenan karo polisi mau menyang ngarep mobil polisi sing gawe nyatheti wong-wong sing padha kena tilang. Kamangka motorku mau dakkunci setang, mesthine rak ya angel banget anggone polisi mau nyeret motorku, mung jarak antarane salon lan mobil polisi kurang luwih 20meter.
Aku banjur marani motorku, yen ora dakparani bakale digawa menyang kantor tenan, tambah kojor mengko. Tekan kana aku ditakoni macem-macem, sing nakoni mau dakwaca jenenge sing tememplek ing dhadha yaiku Sunaryo. Pawakane gagah, dhuwur, brengosen, wajahe katon gereng banget. Nalika dikon meruhake SIM, aku mung plenggang-plenggong sing arep dakweruhke apa, mung nyatane aku durung duwe SIM. Akhire aku kena tilang tenan, jare melanggar sapasal amarga numpaki sepedha motor ora nggawa SIM.
Pikiranku campur baur, wedi, gela, lan liya-liyane. Awaku lemes banget, perkara ketilang wingi kae durung lali saiki wis kena tilang maneh.  Bakal dikeki wejangan sing kaya piye maneh karo bapaku yen wis tekan omah, amarga ora mungkin yen aku ora arep ngomong, mung sing bosa mbantu ya bapaku, sing duwe dhuwit kanggo nebus STNK sing ditahan polisi.
Aku wis kadung judheg. Atiku rasane mongkog banget, sengit, lan gumreget karo polisi-polisi sing padha nilang aku mau. Rencana sing awale arep ngrayakake ulang taune Reni ora sido kedadeyan. Aku luwih milih bali lan ora sido teka ing omahe Reni. Mung Dewi sing wis ing kana. Aku ya ora ngerti Mita piye, tetep ngenteni aku apa mulih amarga saking suwene ngenteni.  Aku wis ora bisa mikir apa-apa, sing dakpikirake mung kepiye aku ngomong babagan kedadeyan iki karo bapaku utawa karo masku. Wedi yen diseneni…





Rabu, 06 Juni 2012

Ramayana


Ramayana

Prabu Dasaratha saka negri Ayodya nduweni putra sing cacahe papat, yaiku Rama, Bharata, Laksmana, lan Satrughna. Ing sawijine dina ana resi jejeneng Wismamitra njaluk pitulungan marang Sri Paduka Dasaratha supaya mbiyantu nglawan para raksesa sing padha nyerang pertapane. Rama lan Laksmana budhal menyang pertapane Wismamitra. Rama lan Laksmana bisa ngalahake para raksesa mau. Sabanjure Rama lan Laksmana menyang Negara Manthili sing lagi ana sayembara. Sapa sing bisa menthangake paanah bakal entuk putri raja yaiku Shinta. Lan sing bisa menthangake panah mau mung Rama, pramila Shinta banjur dadi garwane lan diajak menyang Ayodya.

Ing Ayodya lagi padha nyepakake pahargyan kanggo Rama sing arep dadi raja ing Ayodya. Nanging, Kekayi nagih janjine marang Prabu Dasaratha menawa putrane, Bharata sing dadi raja ing Ayodya. Rama luwih milih ngalah, banjur lunga saka Ayodya karo Shinta lan adhine Laksmana tumuju alas Dandaka.

Ing alas Dandaka ana raksesi sing jenenge Surpakenakha. Dheweke kesengsem marang Laksmana. Banjur Surpanakha malih dadi wanodya. Nanging, Surpanekha ora kasil anggone ngrayu Laksmana, malah Laksmana banjur ngethok irunge Surpakenakha. Surpakenakha dadi nesu banget banjur wadul marang kakange, Rahwana lan ngakon Rahwana supaya nyulik Shinta.

Rahwana ngutus Marica supaya dadi kidang emas. Shinta sing weruh kidang kuwi kepencut banget pengin nduweni. Shinta ngutus rama nyekel kidang emas mau. Rama lunga ngoyak kidang lan Shinta dijaga dening Laksmana. Ora suwe Shinta krungu Rama mbengok, banjur ngakon Laksmana supaya nulungi Rama. Shinta ditinggal dhewe ing kono, banjur Rahwana teka nyamar dadi wong tua kang njaluk banyu banjur nyulik Shinta.

Jatayu krungu bengokane Shinta lan nyoba nulungi Shinta sing diculik Rahwana. Nanging, Rahwana bisa ngalahake Jatayu. Jatayu nekani patine, nanging sadurunge kuwi wis bisa menehi kabar marang Rama lan Laksmana menawa Shinta diculik Rahwana.

Rama lan Laksmana banjur nggoleki  negara Alengka, yaiku negarane Rahwana. Ing satengahe dalan, Rama lan Laksmana ketemu karo ketehek-kethek lan rajane Subali sing lagi nyulik garwane kakange, Sugriwa. Sugriwa njaluk pitulungan marang Rama supaya nulungi garwane sing diculik Subali. Rama bisa mateni Subali lan ngrebut garwane Sugriwa. Kanggo males Rama, Sugriwa ngutus Hanoman lan bala kethek liyane kanggo nggoleki Shinta. Hanoman lan balane bisa mateni Rahwana lan kasil nggawa Shinta bali menyang Ayodya. Lan sabanjure Rama dadi raja ing Ayodya lan urip tenterem raharja karo garwane, Shinta.