Minggu, 15 Juli 2012

gurit


Kapang
                           
Daksawang anane sesawangan
mung memba wewayanganmu
mung eling solah bawamu
mung sengsem manis esemmu
Pranyata,
apadene rasa
saka kalbu tumekaning pandulu
Atiku pancen kadhung
ketaman sawijining panandang
                kapang mring sliramu







Kaya Semut
                         
Semut ireng-ireng
mlaku rindhik-rindhik
ngupadi oangan ngupadi mangsan
mrih sesambunganing dawaning panguripan
Sanadyan upyek tumandang
salam esem kang ngujiwat
tan keri marang liyan
ora preduli kahanan
ora preduli apa rinasa
ora preduli nelangsa
mung sadrema uncal esem luwih utama lan prasaja
Manungsa sajaka rumangsa
bebrayan ing sapada-pada
ngreksa katentreman lan tepa salira
sadaya dadi kang utama


Donga

Wengi iki
nalika candra andhadhar
lintang-lintange cahya sumunar
tan lali bayu liwat nyumiliri driya
dakparani parane gumricike toya
mbasuh jiwa lan raga
siyaga nyembah mring Kuwasa
Ing sujudku lan dedonga
dakpasrahake apa kang ana
marang Raja kan nguwasani donya
moga bisa luwih miguna


Kembang Katresnan

Winih kang sira tandur
ing taman sajerone nala
dak rumat, dak reksa, dak upakara
dak rabuk mawi kapracayan
dak siram kanthi rasa sabar
                Wancine kembang saya ngrembaka
                mekar endah elok sulistya
                arum anggeganda
                iki kangmas,
                kembangku kang wus sumadya
                pethikana sasenengmu
                merga wus dadi duwekmu


analisis wacana pragmatik


IMPLIKATUR-IMPLIKATUR DALAM WACANA RUBRIK
“WARUNG TEGAL” PANJEBAR SEMANGAT

A.    Pengantar
Berbahasa merupakan proses penyampaian informasi yang menggunakan bahasa sebagai alat verbal untuk berkomunikasi. Bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang kemudian lazim digunakan oleh sekelompok orang untuk berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa sebagai alat utama untuk berkomunikasi memiliki peranan yang sangat penting dalam proses berbahasa.
Dengan bahasa manusia dapat menyampaikan gagasan, perasaan, keinginan, maupun berbagi pengalamannya kepada orang lain. Adapun cara yang dilakukan untuk menyampaikan maksud tersebut dapat dilakukan dengan memunculkan suatu wacana, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. Dengan wacana itu pula, maksud yang ingin penutur  (P1) sampaikan bisa dipahami dan dimengerti oleh mitra tuturnya (P2), bahkan bisa saja memunculkan suatu reaksi respon maupun tindakan-tindakan lain akibat adanya tindak tutur tersebut.
            Maksud-maksud yang terkandung secara eksplisit dalam suatu wacana tidak mungkin secara langsung dipahami oleh pembaca. Untuk itu, selain ilmu semantik yang hanya mengkaji makna tanpa terikat keberadaan konteks dubutuhkan pula kajian limu yang mampu menelaah maksud-maksud eksplisit dalam wacana. Pragmatik  merupakan cabang ilmu yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam proses komunikasi. (Putu Wijaya, 2009 : 4). Selain itu, ilmu pragmatik mampu mengkaji makna suatu wacana yang terikat dengan konteks sehingga maksud yang ingin disampaikan oleh penutur (P1) secara keseluruhan dapat tersampaikan.
Aplikasi terhadap penggunaan bahasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, utamanya melalui wacana lisan maupun tulis. Dan salah satu aplikasi penggunaan bahasa adalah melalui wacana rubrik dalam sebuah surat kabar. Dengan adanya rubrik, masyarakat bisa menyampaikan berbagai hal, seperti opini, kritikan, sekedar informasi, maupun saran dan perintah terhadap pembaca umum atau mitra tuturnya. Hal-hal yang diangkat dan dibicarakan dalam sebuah rubrik biasanya berupa wacana dengan tema permasalahan-permasalahan yang sedang marak untuk diperbincangkan maupun peristiwa-peristiwa sudah terjadi di segala aspek kehidupan yang membutuhkan pemikiran kritis dan masukan agar pembaca maupun mitra tutur yang terlibat bisa menyumbangkan opininya bahkan memunculkan respon berupa tindakan konkret guna mendapat penyelesaian dari permasalahan yang sedang dibicarakan tersebut.
Rubrik Warung Tegal dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat (RWTPS) ini sabagai salah satu contonhya. Rubrik yang dikemas dengan menggunakan bahasa Jawa khas daerah Tegal atau sering disebut dengan bahasa Ngapak ini, juga sebuah bentuk wacana tulis sebagai wahana untuk menyampaikan aspirasi dan opini masyarakat tentang permasalahan-permasalahan yang terjadi terkait dengan kehidupan dari segala aspek, seperti kondisi di pemerintahan, masalah ekonomi, sosial, maupun perihal hiburan.
Penyampaian pendapat, gagasan, ide, kritikan, serta harapan-harapan masyarakat ini disampaikan melalui berbagi jenis tindak tutur. Adapaun tindak tutur dalam rubrik Warung Tegal ini menggunakan tindak tutur langsung, yaitu ujaran yang langsung disampaikan secara konvensional dalam bentuk percakapan. Percakapan tersebut disampaikan oleh tokoh Drai, Carman, Man Dul, dan juga Guru Dwijo yang keempatnya memerankan sebagai masyarakat asli dari Tegal. Dengan bahasa ngapaknya yang cukup fasih, keempat tokoh tersebut melakukan percakapan-percakapan untuk membicarakan suatu topik tertentu yang kemudian saling memberi opini dan sanggahan, serta menyampaikan pemikirannya yang kritis akan permasalahan tersebut. Percakapan-percakapan tersebut mampu memberikan informasi kepada pembaca  dan juga membuka pemikiran para pembaca untuk lebih berpikir kritis. Tidak menutup kemungkina pula, dari ujaran-ujaran tersebut bisa memunculkan tindakan konkret dari para pembaca dalam upaya penyelesaian masalah yang sedang dibicarakan.
Sebagai bentuk pemakaian bahasa, rubrik Warung Tegal ini selalu terikat dengan konteks dan situasi yang melingkupinya. Pemakaian bahasa tidak pernah terlepas dari fungsi dan tujuan bahasa itu yang digunakan dalam proses komunikasi antar tokoh dalam percakapan  maupun untuk berinteraksi dengan pembaca. Setiap ujaran yang dilontarkan oleh setiap tokoh pasti memiliki maksud dan tujuan yang mungkin tidak secara implisit disampaikan dalam rubrik tersebut.
Untuk itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap Rubrik Warung Tegal ini. Penelitian yang mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. I Dewa Putu Wijaya, S.U, M.A dan Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum yang berjudul “Implikatur-Implikatur dalam Wacana Rubrik ‘Wong Solo Ngudarasa’ Solopos” ini bertujuan untuk mengkaji maksud dan tujuan penutur yang terkandung secara eksplisit di balik Rubrik Warung Tegal dari tinjauan ilmu  pragmatik. Dimana dengan analisis wacana dari tinjauan prgamatik ini, penulis dapat menelaah hubungan tindak tutur dengan konteks, waktu, keadaan atau hubungan pemakai bahasa (penutur dan mitar tutur), serta hubungan makna dalam wacana dengan situasi ujaran.

B.     Analisis Tindak Tutur RWTPS
Tindak tutur adalah hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat berupa pertanyaan, perintah, pertanyaan, dan sebagainya. Analisis terhadap tindak tutur ini bertujuan untuk mengetahui tindak tutur yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam RWTPS dalam berkomunikasi antar tokoh sendiri maupun dalam upaya penyampaian informasi kepada pembaca rubrik.
Ujaran-ujaran dalam RWTPS dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis tindak tutur, yaitu sebagai berikut :
1.      Tindak Tutur Literal-Tidak Literal
1.1 Tindak Tutur Literal
Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang digunakan. Tindak tutur literal yang terdapat pada RWTPS adalah sebagai berikut :
(1) Man Drai Nanggapi Omongane Man Dul : “Nuwun sewu, yuswa 70 taun, secara umum bae sawijine titah (manungsa) wis suda, wis kurang kemampuan sagala-galane, ya physike, nuwun sewu maning, daya ingate, etos lan semangat kerjane, (yaaa nyong apan nganggo hake nyong minangka warga Negara kanggo bebas berpendapat…)” (RWTPS/17 Januari 2009/3)
(2) Man Dul Nimbrung : “Pancen iyaaaa, sedulur-sedulur nang Klaten, Bantul kae nasibe saiki padha kepriben wis langka sing ngaru biru, para korban lumpur panas Lapindo nang Sidoarjo pating glembor, pating braok nuntut ganti rugi lan perhatian maring kahanan lan nasibe pancen memelas.” (RWTPS/2007/23)
(3) Carman Nyambungi : “ Sing arane legendha kuwe bisa diarani aset crita sing dimiliki sawijine dhaerah tertentu, sing mesthine bae ora kena digawe sembarangan sakepenake dhewek, sebab bisa uga perlu dingerteni dening generasi mudha nang dhaerah mau.” (RWTPS/2007/13)

Ketiga tuturan pada kalimat (1), (2), dan (3) adalah tindak tutur literal, artinya apa yang dimaksudkan oleh para penutur tersebut sama dengan makna leksikal kata-kata yang yang digunakan untuk bertutur. Tuturan (1) maksudnya bahwa seseorang yang sudah mencapai usia 70 tahun, pasti akan mengalami penurunan dalam segala hal misalnya kemampuan dalam bekerja, kondisi fisik, daya ingat, serta etos dan semangat kerjanya. Maksud tersebut sangat terlihat dari makna semantik dari kata-kata yang digunakan oleh P1 yang ditandai dengan penanda lingual “secara umum bae sawijine titah (manungsa) wis suda”.
Tuturan kalimat (2) memiliki maksud bahwa kondisi masyarakat di Klaten, Bantul, dan Sidoarjo yang menjadi korban bencana sangat mengkhawatirkan dan menyedihkan, serta sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah. Maksud tersebut dilihat dari makna leksikal semantik pada pananda “pating braok nuntut ganti rugi lan perhatian maring kahanan lan nasibe pancen memelas”.
Demikian juga dengan tuturan kalimat (3), maksud yang terdapat dalam tuturan tersebut adalah bahwa legenda merupakan asset peninggalan berharga suatu daerah tertentu yang tidak bisa dirubah secara sembarangan dan harus dimengerti serta dipahami oleh para generasi muda penerus bangsa. Maksud tersebut terlihat pada penanda lingual “sing mesthine bae ora kena digawe sembarangan sakepenake dhewek, sebab bisa uga perlu dingerteni dening generasi mudha”.

1.2  Tindak Tutur tidak Literal
Tindak tutur tidak lateral merupakan tindak tutur yang maksdunya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Tindak tutur ini bisa memiliki maksud untuk menyindir, mengritik, memerintah, memberi saran, maupun memohon mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu melalui maksud yang tersirat dalam tuturannya. Tindak tutur tidak literal yang terdapat dalam RWTPS ini adalah sebagai berikut :
(4) Man Dul Angkat Bicara : “…nang sisi lain wong uga kemutan jasa-jasane Pak harto selawase 32 taun dadi penguwasa nang negara kita, malah sing utama diteliti kasugihane kulawarga cendhana sing semana akehe termasuk dhuwit yayasan sing 7 cacahe, asale saka ngendi …?” (RWTPS/2006/24)
(5) Guru Dwijo Nyambung Omongan: “…kula malah gadhah panduwa ingkang kados memper inggih menika, damel sinetron nanging sungkan utawi boten purun, sisah-sisah ngarang mendhet kemawon crita ingkang sampun wonten dipunmodhifikasi sekedhik, antawisipun kanthi nggantos kostum pemain, nggantos kendharaan ingkang dipunengge, rampung.” (RWTPS/2007/13)
(6) Carman Nutup Obrolan: “ …ari DPR wis nyetujoni sawijine masalah upama RUU disyahaken dadi Undang-Undang, ateges rakyat (seluruhnya) dianggep wis setuju maring keputusan mau, Astagfirullah hal adzim.”(RWTPS/17 Januari 2009/3)
Tuturan kalimat (4), (5), dan (6) adalah tuturan kalimat tidak literal. Tuturan tersebut maksudnya tidak sekedar apa dari makna leksikal dari kata-kata yang digunakan oleh penutur, tetapi ada maksud lain yang tersirat dari tuturannya. Tuturan kalimat (4) memiliki maksud tersirat yang berisi saran kepada Kejaksaan Agung agar lebih cermat dalam mengusut kasus Pak Harto, tidak hanya Pak Harto yang diselidiki namun segala aset dan riwayat kekayaan keluarga, serta bidang usaha milik Pak Harto juga yang menjadi bahan penyelidikan. Maksud tersirat ini terlihat pada penanda lingual “kasugihane kulawarga cendhana sing semana akehe termasuk dhuwit yayasan sing 7 cacahe, asale saka ngendi …?”
Tuturan kalimat (5) berisi maksud tersirat yaitu sebuah kritik terhadap para produser sinetron yang hanya seenaknya sendiri ketika membuat sebuah sinetron dengan menjiplak atau mengambil cerita yang sudah ada (legenda) kemudian dirubah sedemikian rupa dalam beberapa aspeknya, sehingga tercipta sinetron baru. Maksud tersebut tampak pada “damel sinetron nanging sungkan utawi boten purun, sisah-sisah ngarang mendhet kemawon crita ingkang sampun wonten dipunmodhifikasi sekedhik”. 
Sedangkan tuturan kalimat (6) mengandung makna tersirat sebuah sindiran terhadap pemerintah dimana yang dimaksud disini adalah DPR selaku pihak yang berwenang mengesahkan RUU. DPR terkesan tidak memperhatikan kepentingan dan keperluan rakyatnya, sehingga dalam menentukan sebuah Undang-Undang terkesan semaunya sendiri dan rakyat harus senantiasa menerima dan taat akan Undang-Undang tersebut. Maksud tersebut terlihat pada lingual “…ateges rakyat (seluruhnya) dianggep wis setuju maring keputusan mau…”
2.      Tindak Tutur Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
2.1  Tindak Tutur Lokusi
Tindak Tutur Lokusi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyampaikan sesuatu atau informasi yang disampaikan oleh penutur (P1) kepada mitra tuturnya tanpa ada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
Contoh dari tindak tutur lokusi yang terdapat dalam RWTPS adalah sebagai berikut:
(7)Man Dul Napuki Obrolan: “Nyong maca nang Koran lokal, senajan olih sorotan lan kritikan sing werna-werna saka sawetara fihak, wusanane DPR RI ngesyahaken RUU tentang perubahan kedua(kaping pindho0 atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.” (RWTPS/17 Januari 2009/3)
(8)Carman Napuki Obrolan: “Wose pangandikan (nuwun sewu) sing kena diarani dhebat mau ngrembug masalah pro lan kontra anane keputusan kanggo ngendhegaken usaha pemeriksaan maring Pak Harto…”(RWTPS/2006/24)
(9)Drai Nyambung: “Ari nyong njukut nang dunya “Perkorupsian”….hahaha…sing wektu kiye lagi “ngetop” kasus korupsi sing ditindakaken dening mantan Kepala Bulog, Wijarnako Puspoyo.” (RWTPS/2007/23)
     Ketiga tuturan kalimat tersebut merupakan tindak tutur lokusi. Penutur (P1) hanya bermaksud menyampaikan informasi kepada mitra tuturnya tanpa memiliki maksud yang lain. Tuturan (7) memiliki maksud bahwa Man Dul menginformasikan bahwa DPR RI telah mengesahkan RUU tentang perubahan kedua UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Tuturan kalimat (8) juga memiliki maksud untuk menyampaikan sebuah informasi bahwa acara debat membahas masalah pro dan kontra tentang adanya keputusan untuk menghentikan usaha pemeriksaan terhadap Pak Harto.
Begitu pula dengan tuturan (9) yang juga hanya sekedar menyampaikan informasi. Drai menyampaikan bahwa kasus korupsi yang sedang ngetop adalah korupsi yang dilakukan oleh mantan Kepala Bulog, Wijarnako Puspoyo. Untuk itu, tindak tutur lokusi berfungsi hanya untuk menyampaikan sebuah informasi tanpa memiliki maksud lain.
2.2  Tindak Tutur Ilokusi
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang disampaikan oleh penutur (P1) yang memiliki maksud agar mitra tuturnya (P2) melakukan sesuatu. Dalam tindak tutur ini, satu tuturan memiliki dua maksud, yaitu menyampaikan informasi dan menyuruh mitra tutur (P2) melakukan sesuatu. Jadi, dalam menganalisis tindak tutur ilokusi harus memperhatikan adanya konteks dalam tuturan tersebut.
(10) Drai Melu Nyambung: “ yaaa, maklum wong nyong padha awam nang masalah hokum senajan ngarti kerepe sing didhebatake ari mungguhe rika kepriben Man Dul maksudku pemeriksaan Pak Harto kuwe apike diterusake apa diendheg bae?” (RWTPS/2006/24)
       Selain makna lokusi, tuturan (10) juga memiliki makna ilokusi. Makna lokusi dari tuturan tersebut adalah Drai ingin menyampaikan bahwa dirinya hanya manusia awam yang tidak paham hokum tetapi mengetahui maksud dari debat yang dilakukan.Sedangkan makna ilokusinya yaitu Drai meminta Man Dul sebagi mitra tutur (P2) untuk ikut berpikir dan berpendapat tentang masalah pemeriksaan Pak Harto. Maksud tersebut terlihat pada penanda lingual “kepriben Man Dul maksudku pemeriksaan Pak Harto kuwe apike diterusake apa diendheg bae”.
2.3  Tindak Tutur Perlokusi
Tindak tutur perlokusi merupakan tindak tutur yang disampaikan untuk mempengaruhi mitra tuturnya (P2). Tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman mitra tutur terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan.  Tindak tutur perlokusi mengacu kepada efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh penutur.
(11) Drai Napuki Obrolan : ”Pancen ari dipikir-pikir, nyong rika kebeh (kudu) kudu luwih prihatin, yaaa ora nyong karo rika thok, genahe tah seluruh bangsa Indonesia, ari esih rumasa dadi warga Negara, esih rumasa duwe lan melu tanggung jawab maring keslametan lan ketentramaning Negara kudu akeh prihatine akeh luwih nyedhek lan luwih sregep anggone nenuwun maring Gusti Sing Maha Welas Asih.”
        Tindak tutur kalimat mengandung tiga makna, yaitu makna lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Makna lokusi dari tuturan tersebut adalah bahwa Drai menyampaikan bahwa dirinya sedang berpikir kritis tentang kondisi yang sedang dialami bangsa Indonesia yang sering dilanda musibah, baik musibah yang terjadi secara alami (bencana alam) maupun masalah-masalah social di berbagai aspek kehidupan. Sedangkan makna ilokusi dari tuturan tersebut adalah Drai secara tidak langsung mengajak atau menyuruh mitra tuturnya (P2), Man Dul dan Guru Dwijo untuk ikut berpikir dan mengritisi masalah-masalah yang sedang dialami bangsa Indonesia. Makna tersebut dapat terlihat dari penanda lingual “Pancen ari dipikir-pikir, nyong rika kebeh (kudu) kudu luwih prihatin, yaaa ora nyong karo rika thok”.
            Selain mengandung makna lokusi dan ilokusi, tuturan juga mengandung makna perlokusi. Makna perlokusi dari tuturan tersebut adalah dari pemikiran-pemikiran kritis akan kondisi bangsa Indonesia, para masyarakat harusnya lebih merasa tanggung jawab dan prihatin. Hal tersebut dapat diwujudkan salah satunya dengan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penanda lingual dari maksud tersebut terlihat pada “kudu akeh prihatine akeh luwih nyedhek lan luwih sregep anggone nenuwun marign Gusti Sing Maha Welas Asih”

C.    Maksud-Maksud yang Terkandung dalam RWTPS
Sebuah wacana yang merupakan tataran tertinggi dalam tingkat satuan bahasa, tentu saja mengandung makna, maksud, dan tujuan tertentu dari apa yang tersebutkan dalam wacana tersebut. Namun, dalam suatu wacana seorang penutur tidak selalu mengungkapkan maksud tuturannya tersebut secara lateral atau secara langsung sesuai kenyataan. Kadangkala, penutur memilih untuk menggunakan bahasa dan cara penyampaian yang berbeda karena memperhatikan prinsip kesantunan maupun rasa menghormati terhadap kepentingan orang lain agar apa yang penutur ungkapkan tidak menyakiti perasaan orang lain atau pihak yang menjadi sasaran pembicaraannya. Untuk itu,  mitra tutur (P2) harus bisa menafsirkan maksud yang tersirat dari tuturan penutur (P1) dengan mmeperhatikan konteks yang melingkupi tuturan tersebut.
Berdasarkan pengamatan, maksud-maksud yang terkandung dalam tuturan-tuturan RWTPS yaitu sebagai berikut :
1.      Bermaksud Memberikan Informasi
Tuturan-tuturan yang disampaikan para penutur dalam RWTPS memiliki maksud untuk menyampaikan informasi-informasi atau memberitahukan sesuatu. Hal-hal yang diinformasikan adalah permasalahan-permasalahan sosial, politik, ekonomi, hiburan, serta musibah-musibah yang terjadi di Indonesia. Informasi-informasi tersebut disampaikan oleh para penutur dengan menggunakan tindak tutur lateral dan tindak tutur lokusi. Misalnya dalam tuturan berikut ini :
(12) Carman Napuki Obrolan: “Ari ora salah antarane malem Rebo utawa malem Kemis tengahe wulan Mei nyong nonton dialog “dhebat” antarane Kepala Kejaksaan Agung Abdurahman Saleh SH karo sawetara tokoh ahli hukum lan politik sing nyong ngarti asmane antarane Bapak Amin Rais.” (RWTPS/2006/24)
   Salah satu tuturan dalam RWTPS tersebut (12) merupakan tuturan yang bermaksud menyampaikan informasi, yaitu acara debat dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Agung Abdurahman Saleh SH dan Bapak Amin Rais selaku tokoh ahli hukum dan politik.
2.      Bermaksud Memberikan Kritikan
Selain untuk menyampaikan informasi, tuturan yang terdapat pada RWTPS bermaksud untuk memunculkan kritikan-kritikan terhadap beberapa pihak beserta permasalahannya, seperti kebijakan-kebijakan pemerintah, perilaku masyarakat dalam menghadapi permasalahan-permasalan di berbagai aspek kehidupan yang terjadi, kondisi sosial tempat-tempat tertentu di Indonesia, serta musibah-musibah ataupun fenomena yang ada dan menyebabkan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Kritikan-kritikan tersebut disampaikan oleh para penutur  melalui tindak tutur ekspresif dengan menggunakan bahasa dialek khas Tegal ngapak dan ditanggapi oleh mitra tuturnya dengan bahasa ngapak pula.
Misalnya dalam tuturan berikut ini :
(13) Man Dul Napuki Obrolan: “Ora nguja nyong nonton senetron legenda nang salah sijine stasiun televise, ndeleng tayangane nyong kaget, lan uga eram dening ke sejen,…ora kaya kahanan asline, upamane crita Sangkurian utawa Lutung Kasarung, sinetron mau settinge kudu Tanah Pasundhan zaman kuna, kostum para pemaine nganggo klambi modern, kemeja, dhasi, numpak mobil, umahe gedhong sing mewah lan liya-liyane, lhaaa kuwe sih legendha apaaa?” (RWTPS/2007/13)
Tuturan (13) tersebut berisi kritikan Man Dul tentang sinetron-sinetron di televisi yang tidak memperhatikan konsep sebenarnya dari cerita yang diangkat. Alurnya menggunakan cerita lama seperti Sangkuriang dan Lutung Kasarung, namun mengubah segala bentuk latar dan cara pemain sinetron menggunakan kostum. Kesan akan cerita yang legendaris dan memiliki amanat tentang kehidupan, tertutupi oleh kesan modern dan perubahan cerita yang seenaknya sendiri. Sehingga, para penonton hanya menjadikan sinetron tersebut sebagai hiburan belaka, padahal jika sang pembuat naskah dan sutradara mampu mengemas cerita legenda dengan apik, akan menjadikan sinetron menjadi tontonan yang menghibur dan juga memberikan pitutur-pitutur.
3.      Bermaksud Menyampaikan Pendapat
Tuturan-tuturan yang dituturkan oleh para penutur RWTPS juga bermaksud untuk menyampaikan pendapat mereka akan sesuatu hal. Hampir dalam setiap tuturannya, Man Dul, Carman, Drai, maupun Guru Dwijo menyampaikan pendapatnya masing-masing akan permasalahan yang sedang dibahas dalam konteks tersebut, selain beropini juga memberikan sanggahan atas apa yang sudah dituturkan oleh penutur sebelumnya.
(14) Man Dul Angkat Bicara: “ Pancen perkara kiye kena diarani perkara sing pelik, rumit, lan riskan utawa kebak resiko, bisa diibarataken kaya buah simalakama, ari dipangan bapak mati, ora dipangan ibu sing mati.”(RWTPS/2006/24)
 Tuturan (14) yang dituturkan oleh Man Dul tersebut merupakan opininya sendiri tentang permasalahan penghentian pemeriksaan terhadap Pak Harto. Man Dul berpendapat bahwa permasalahan ini merupakan permasalahan yang sangat rumit dan penuh resiko, sehingga mungkin terdapat benyak kesulitan untuk mendapatkan penyelesaiannya.
Begitu pula dengan tuturan yang disampaikan oleh Guru Dwijo berikut ini:
(15) Guru Dwijo Nyambung Omongan: “…lhaa menika salah setunggaling kelemahan ingkang wonten ing bangsa kita, sedherek sedherek kta, bangsanipun njiplak, nurun, sebangsanipun menika panci ahli sanget.”(RWTPS/2007/13)
Guru Dwijo berpendapat bahwa kelemahan bangsa Indonesia yaitu sangat akrab budaya plagiat atau menjiplak karya orang lain, yang kemudian dirubah pada beberapa bagiannya.
4.      Bermaksud Menyuruh
Tuturan-tuturan RWTPS yang bermaksud  menyuruh disampaikan melalui tindak tutur direktif. Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang menghendaki mitra tuturnya melakukan sesuatu. Misalnya maksud meyuruh dalam tuturan berikut ini:
(16) Drai Napuki Obrolan : ”Pancen ari dipikir-pikir, nyong rika kebeh (kudu) kudu luwih prihatin, yaaa ora nyong karo rika thok, genahe tah seluruh bangsa Indonesia, ari esih rumasa dadi warga Negara, esih rumasa duwe lan melu tanggung jawab maring keslametan lan ketentramaning Negara kudu akeh prihatine akeh luwih nyedhek lan luwih sregep anggone nenuwun maring Gusti Sing Maha Welas Asih.”(RWTPS/2007/23)
Tuturan (16) tersebut Drai menyuruh kepada mitra tuturnya (Carman dan Man Dul) beserta masyarakat Indonesia untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan karena sudah banyak peringatan yang ditunjukkan oleh Tuhan melalui musibah-musibah yang terjadi. Bangsa Indonesia harus lebih prihatin dan lebih bertanggung jawab akan segala sesuatu yang terjadi.

D.    Penerapan Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang berkenaan dengan sosial, estetika, dan moral dalam bertindak tutur. Seorang penutur ketika menyampaikan informasi, maksud atau tujuan, amanat, dan tugas harus selalu menjaga dan memelihara hubungan antara penutur itu sendiri dangan mitra tuturnya.
Prinsip-prinsip kesantunan yang memiliki sejumlah maksim ini diterapkan tokoh-tokoh dalam RWTPSdalam melakukan percakapan.
Adapun maksim-maksim kesantunan yang diterpakan dalam RWTPS ini adalah maksim kecocokan, maksim kerendahan hati, dan maksim kebijaksanaan.
1.    Maksim Kecocokan
Maksim kecocokan dalam prinsip kesantunan diungkapkan dengan tindak tutur yang bersifat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan mitra tuturnya untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
Maksim kecocokan terdapat pada contoh tindak tutur berikut ini:
(17)  Man Dul Napuki Obrolan: “Ora nguja nyong nonton senetron legenda nang salah sijine stasiun televise, ndeleng tayangane nyong kaget, lan uga eram dening ke sejen,…ora kaya kahanan asline, upamane crita Sangkurian utawa Lutung Kasarung, sinetron mau settinge kudu Tanah Pasundhan zaman kuna, kostum para pemaine nganggo klambi modern, kemeja, dhasi, numpak mobil, umahe gedhong sing mewah lan liya-liyane, lhaaa kuwe sih legendha apaaa?” (RWTPS/2007/13)
(18)  Drai Nimpali :”Bener Man Dul, nyong ya tau nonton lan bingung, dadi rupane karepe si pembuat naskah lan ide crita, alur critane miturut legenda upamane Sangkuriang.”(RWTPS/2007/13)
Ujaran (18) yang diungkapkan Drai menunujukkan adanya kecocokan dengan ujaran (17) yang diucapakan oleh Man Dul. Drai menyetujui pernyataan yang sebelumnya diungkapakan oleh Man Dul. Ujaran Drai terlihat lebih santun dan cocok ketika memberi tanggapan sehingga dalam percakapan tersebut Nampak sekali terdapat keselarasan dalam membicarakan suatu masalah, yaitu permasalahan tentang sinetron-sinetron jaman sekarang yang menggunakan cerita legenda yang dirubah dengan seenaknya sendiri tanpa memperhatikan hal-hal yang sebaiknya tidak dirubah.
2.    Maksim Kerendahan Hati
Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan kalimat eksresif dan asertif. Maksim kerendahan hati menuntut setiap penutur untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Maksim ini terdapat pada ujaran berikut:
(19)  Guru Dwijo: “Malah kula kinten tiyang-tiyang menika boten anggadhahi pikiran ngantos samanten Mas Carman.”(RWTPS/2007/13)
             Ujaran (19) yang diucapkan oleh Guru Dwijo tersebut merupakan penerapan maksim kerendahan hati. Dalam ujaran tersebut, Guru Dwijo menggunakan basa krama, sedangkan tokoh-tokoh sebelumnya hanya menggunakan basa ngoko. Basa karma merupakan tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa yang merupakan bahasa yang paling sopan, yaitu digunakan untuk menghormati mitra tuturnya.
3.    Maksim Kebijaksanaan
Maksim kebijaksanaan diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif. Maksim ini meminimalkan kerugian bagi orang lain.
Maksim ini terdapat pada ujaran berikut ini:
(20)  Man  Drai: “Nuwun sewu, yuswa 70 taun, secara umume bae sawijine titah (menungsa) wis suda, wis kurang kemampuan segala-galane, ya fisike, ya nuwun sewu maning, daya ingate, etos lan semangat kerjane.”(RWTPS/17 Januari 2009/3)
            Penggunaan kata nuwun sewu dalam ujaran (20) tersebut merupakan bantuk penerapan maksim kebijaksanaan. Walaupun Man Drai membicarakan dan mengkritik orang lain, namun Drai menggunakan kata nuwun sewu (maaf) sebagai bentuk kebijaksanaannya guna menghormati orang yang sedang dibicarakan, serta menghindari munculnya rasa sakit hati bagi orang yang dibicarakan.
E.     Penerapan Prinsip Kerja Sama
Dalam berkomunikasi, seorang penutur dan mitra tuturnya selalu mengharapkan adanya sebuah kelancaran dalam proses komunikasi tersebut. Kelancaran komunikasi tersebut diperoleh bukan hanya karena unsur-unsur kebahasaan secara struktural saja, namun harus diperhatikan pula prinsip-prinsip penggunaan bahasa oleh penutur dan mitra tuturnya. Dan salah satu prinsip yang harus diperhatikan tersebut adalah prinsip kerja sama dalam penggunaan bahasa. Dengan menggunakan prinsip kerja sama ini akan sangat membantu mitra tutur dalam memahami sebuah ujaran yang disampaikan oleh penutur dan seminimal mungkin bisa menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Prinsip kerja sama juga diterapkan dalam ujaran-ujaran yang terdapat dalam RWTPS ini. Dalam melakukan percakapan, para tokoh dalam rubrik ini berusaha menggunakan prinsip kerja sama agar maksud yang ingin disampaikan dapat diterima oleh mitra tutur dan para pembaca. Adapun maksim dalam prinsip kerja sama yang diterapkan dalam RWTPS ini adalah maksim
1.      Maksim kualitas
Maksim kualitas merupakan maksim yang mewajibkan setiap peserta percakapan dalam menuturkan ujarannya harus didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Maksim ini terdapat pada ujaran berikut ini:
(21)  Man Dul Napuki Obrolan: “Ora nguja nyong nonton senetron legenda nang salah sijine stasiun televisi, ndeleng tayangane nyong kaget, lan uga eram dening ke sejen,…ora kaya kahanan asline, upamane crita Sangkurian utawa Lutung Kasarung, sinetron mau settinge kudu Tanah Pasundhan zaman kuna, kostum para pemaine nganggo klambi modern, kemeja, dhasi, numpak mobil, umahe gedhong sing mewah lan liya-liyane, lhaaa kuwe sih legendha apaaa?” (RWTPS/2007/13)
(22)  Drai Nimpali :”Bener Man Dul, nyong ya tau nonton lan bingung, dadi rupane karepe si pembuat naskah lan ide crita, alur critane miturut legenda upamane Sangkuriang.”(RWTPS/2007/13)
Ujaran (21) yang dituturkan oleh Man Dul tersebut memberikan kontribusi terhadap maksim kualitas. Man Dul mengungkapkan rasa keheranannya akan sinetron yang menggunakan cerita legenda namun tidak mewakili sama sekali cerita tersebut. Seharusnya cerita legenda harus sesuai dengan latar dan jamannya. Misalnya cerita Sangkuriang yang harus berlatar Tanah Pasundan dan keadaannya juga harus dibuat sedemikian rupa sesuai apa yang digambarkan dalam cerita tersebut. Penyelewengan cerita lama tersebut dikuatkan dengan banyak alasan, seperti kostum yang modern, trasportasi yang digunakan kendaraan mewah, dan juga seting tempatnya yang biasanya menggunakan gedung-gedung besar dan bertingkat.
2.      Maksim Relevansi
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah yang sedang dibicarakan. Misalnya terdapat dalam ujaran berikut ini:
(23) Man Dul : “Fraksi PPP lan PDIP sing ora setuju perpanjangan usia pensiun Hakim Agung dadi 70 taun (umume 65 taun), lan PDIP menehi dalan tengah dadi 67 taun.”
(24) Man Drai : “namung anggere ndeleng usia nganti 70 taun, sing maune 65 taun jare aku pencene ora patia pas.” (RWTPS/2009/3)
Ujaran (23) dan (24) memberikan kontribusi maksim relevansi karena dalam ujaran tersebut Man Dul memberikan suatu informasi yang kemudian ditanggapi oleh Man Drai yang relevan dengan apa yang sedang dibicarakan.
F.     Implikatur-Implikatur dalam RWTPS
Implikatur adalah ujaran atau pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Pemahaman terhadap implikatur akan lebih mudah jika penulis/penutur (P1) dan pembaca/mitar tutur telah saling berbagi pengalaman. Pengalaman dan pengetahuan akan berbagai konteks yang melingkupi tindak tutur yang diucapkan akan sangat membantu mitra tutur dalam memahami implikatur yang terkandung dalam ujarannya.
Implikatur dibedakan menjadi dua jenis, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional adalah implikasi atau pengertian yang bersifat umum dan konvensional. Semua orang pada umumnya sudah mengetahui dan memahami maksud tersebut. Pemahaman terhadap pemahaman ini menganggap pembaca atau mitra tutur sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman umum. Sedangkan yang dimaksud dengan implikatur konversasioanal atau percakapan adalah implikatur yang muncul dalam suatu percakapan. Oleh karena itu, sifatnya temporer (terjadi saat terjadinya percakapan) dan non-konvensional (sesuatu yang diimplikasikan tidak memiliki relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan).
Adapun ujaran-ujaran yang terdapat dalam RWTPS ini merupakan ujaran yang termasuk dalam implikatur konversasional karena rubrik ini dikemas dalam bentuk percakapan. Dalam percakapan tersebut mengandung banyak sekali implikatur-implikatur dari setiap ujaran Drai, Carman, Man Dul, maupun Guru Dwijo. Dengan pemahaman akan konteks yang ada, berikut ini implikatur-implikatur yang terdapat dalam RWTPS :
(25)      Drai Nyambung : “kekayaane nang kota kelairane kesiguhane angel dietung nganti ana “dalem bangsawan” uga dituku terus direnovasi …apa ora saparo swarga dunya …!” (RWTPS/2007/23)
Ujaran (25) yang diucapkan Drai tersebut merupakan suatu bentuk keprihatinan dan perasaan tidak puasnya terhadap perilaku salah satu petinggi Negara yang tidak mampu mengemban apa yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Kepercayaan masyarakat yang diberikan kepadapara pejabat diselewengkan dengan melakukan tindak korupsi. Dengan tindakan korupsinya, pejabat tersebut mampu menimbun kekayaannya bahkan bisa dikatakan hartanya sangat berlebihan sampai mampu melakukan segala hal tanpa memandang kesengsaraan rakyat yang berada dibawah kepemimpinannya. Ujaran Drai tersebut juga bermaksud memberikan kritik kepada para pejabat agar lebih sadar dan bisa mengintrospeksi dirinya sendiri.
(26)  Guru Dwijo: “Malah kula kinten tiyang-tiyang menika boten anggadhahi pikiran ngantos samanten Mas Carman.”(RWTPS/2007/13)
Ujaran (26) yang disampaikan Guru Dwijo tersebut bukan hanya bermaksud untuk menyebutkan pikiran para sutradara atau pembuat film saja. Guru Dwijo juga memiliki maksud bahwa para sutradara sebenarnya juga harus berpikir agar bisa membuat sinetron yang lebih bermutu yang tidak hanya mengambil dari cerita-cerita lama yang kemudian dirubah dengan seenaknya sendiri. Ujaran tersebut juga mengandung suatu kritikan sekaligus anjuran bagi para sutradara untuk lebih mementingkan kualitas dan pembelajaran moral dari setiap sinetron yang dibuatnya.
(27)  Drai Melu Nyambung : “Yaaa, terus terang bae nyong ora bisa nirokaken dhebate wong-wong pinter mau, yaaa maklum wong nyong padha awam nang masalah hukum senajan ngarti karepe sing didhebatake ari mungguhe rika kepriben Man Dul maksudku pemeriksaan Pak Harto kuwi apike diterusaken apa diendheg bae?”(RWTPS/2006/24)
Ujaran (27) yang disampaikan Drai tersebut juga mengandung implikatur. Melalui ujaran  “terus terang bae nyong ora bisa nirokaken dhebate wong-wong pinter mau” tersebut, Drai memiliki maksud bahwa orang-orang dalam acara debat tersebut sebenarnya orang-orang pandai. Namun, kadang kepandaian dan kemampuannya tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, karena tidak melihat kondisi di sekitarnya.
(28) Carman Nutup Obrolan: “ …ari DPR wis nyetujoni sawijine masalah upama RUU disyahaken dadi Undang-Undang, ateges rakyat (seluruhnya) dianggep wis setuju maring keputusan mau, Astagfirullah hal adzim.”(RWTPS/17 Januari 2009/3)
Ujaran (28) tersebut mengandung implikatur yaitu rakyat yang sudah dianggap sudah setuju dengan pengesahan RUU tersebut tidak hanya setuju saja dan harus mengikuti juga apa yang sudah menjadi ketetapan DPR. Padahal mungkin hanya sebagian rakyat yang menyetujui RUU tersebut. Namun, semua rakyat yang pro dan kontra harus tunduk dan menjalankan keputusan tersebut.

G.    Penutup
Analisis wacana rubrik “Warung Tegal” Panjebar Semangat dari segi ilmu pragmatik yang sudah dilakukan ini setidaknya mendapat beberapa kesimpulan. Ujaran-ujara dalam RWTPS ini  bertujuan untuk menyampaikan opini, gagasan, kritikan, saran, serta sekedar memberikan suatu informasi kepada mitra tutur serta para pembaca. RWTPS menggunakan berbagai jenis tindak tutur untuk menyampaikan maksud atau pesan penutur. Dalam ujaran-ujaran tersebut mengandung implikatur-implikatur yang diketahui dengan pemanfaatan konteks dan pengetahuan yang melingkupi tindak tutur tersebut.

gurit


Liringe Kenya

Kenya ayu sulistya warni
ing ngarep mesjid dalan ahmad yani
estu gawe panolehe Adi
among nyawat esem ambalang liring
anyawat kincanging alis
tinambah esem kang mung manda-manda
sarwi nggeget-nggeget lathi
lebur luluh tyase kang jaka
kasengsem marang Kenya
ngayang-ayang ngrumpaka ngracik ukara
mamrih kapadhaning karsa
kang ana ing endahing taman asmara