IMPLIKATUR-IMPLIKATUR DALAM WACANA
RUBRIK
“WARUNG TEGAL” PANJEBAR SEMANGAT
A.
Pengantar
Berbahasa merupakan proses penyampaian informasi
yang menggunakan bahasa sebagai alat verbal untuk berkomunikasi. Bahasa sebagai
sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang kemudian lazim digunakan oleh
sekelompok orang untuk berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Bahasa
sebagai alat utama untuk berkomunikasi memiliki peranan yang sangat penting
dalam proses berbahasa.
Dengan bahasa manusia dapat menyampaikan gagasan,
perasaan, keinginan, maupun berbagi pengalamannya kepada orang lain. Adapun
cara yang dilakukan untuk menyampaikan maksud tersebut dapat dilakukan dengan
memunculkan suatu wacana, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. Dengan
wacana itu pula, maksud yang ingin penutur
(P1) sampaikan bisa dipahami dan dimengerti oleh mitra tuturnya (P2),
bahkan bisa saja memunculkan suatu reaksi respon maupun tindakan-tindakan lain
akibat adanya tindak tutur tersebut.
Maksud-maksud yang terkandung secara
eksplisit dalam suatu wacana tidak mungkin secara langsung dipahami oleh
pembaca. Untuk itu, selain ilmu semantik yang hanya mengkaji makna tanpa
terikat keberadaan konteks dubutuhkan pula kajian limu yang mampu menelaah
maksud-maksud eksplisit dalam wacana. Pragmatik
merupakan cabang ilmu yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal,
yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam proses komunikasi.
(Putu Wijaya, 2009 : 4). Selain itu, ilmu pragmatik mampu mengkaji makna suatu
wacana yang terikat dengan konteks sehingga maksud yang ingin disampaikan oleh
penutur (P1) secara keseluruhan dapat tersampaikan.
Aplikasi terhadap penggunaan bahasa dapat dilakukan
dengan berbagai cara, utamanya melalui wacana lisan maupun tulis. Dan salah
satu aplikasi penggunaan bahasa adalah melalui wacana rubrik dalam sebuah surat
kabar. Dengan adanya rubrik, masyarakat bisa menyampaikan berbagai hal, seperti
opini, kritikan, sekedar informasi, maupun saran dan perintah terhadap pembaca
umum atau mitra tuturnya. Hal-hal yang diangkat dan dibicarakan dalam sebuah
rubrik biasanya berupa wacana dengan tema permasalahan-permasalahan yang sedang
marak untuk diperbincangkan maupun peristiwa-peristiwa sudah terjadi di segala
aspek kehidupan yang membutuhkan pemikiran kritis dan masukan agar pembaca
maupun mitra tutur yang terlibat bisa menyumbangkan opininya bahkan memunculkan
respon berupa tindakan konkret guna mendapat penyelesaian dari permasalahan
yang sedang dibicarakan tersebut.
Rubrik Warung
Tegal dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat (RWTPS) ini sabagai salah satu contonhya. Rubrik
yang dikemas dengan menggunakan bahasa Jawa khas daerah Tegal atau sering
disebut dengan bahasa Ngapak ini, juga
sebuah bentuk wacana tulis sebagai wahana untuk menyampaikan aspirasi dan opini
masyarakat tentang permasalahan-permasalahan yang terjadi terkait dengan
kehidupan dari segala aspek, seperti kondisi di pemerintahan, masalah ekonomi,
sosial, maupun perihal hiburan.
Penyampaian pendapat, gagasan, ide, kritikan, serta
harapan-harapan masyarakat ini disampaikan melalui berbagi jenis tindak tutur. Adapaun
tindak tutur dalam rubrik Warung Tegal
ini menggunakan tindak tutur langsung, yaitu ujaran yang langsung disampaikan
secara konvensional dalam bentuk percakapan. Percakapan tersebut disampaikan
oleh tokoh Drai, Carman, Man Dul, dan juga Guru Dwijo yang keempatnya
memerankan sebagai masyarakat asli dari Tegal. Dengan bahasa ngapaknya yang cukup fasih, keempat
tokoh tersebut melakukan percakapan-percakapan untuk membicarakan suatu topik
tertentu yang kemudian saling memberi opini dan sanggahan, serta menyampaikan
pemikirannya yang kritis akan permasalahan tersebut. Percakapan-percakapan
tersebut mampu memberikan informasi kepada pembaca dan juga membuka pemikiran para pembaca untuk
lebih berpikir kritis. Tidak menutup kemungkina pula, dari ujaran-ujaran
tersebut bisa memunculkan tindakan konkret dari para pembaca dalam upaya
penyelesaian masalah yang sedang dibicarakan.
Sebagai bentuk pemakaian bahasa, rubrik Warung Tegal ini selalu terikat dengan
konteks dan situasi yang melingkupinya. Pemakaian bahasa tidak pernah terlepas
dari fungsi dan tujuan bahasa itu yang digunakan dalam proses komunikasi antar
tokoh dalam percakapan maupun untuk berinteraksi
dengan pembaca. Setiap ujaran yang dilontarkan oleh setiap tokoh pasti memiliki
maksud dan tujuan yang mungkin tidak secara implisit disampaikan dalam rubrik
tersebut.
Untuk itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap Rubrik Warung Tegal
ini. Penelitian yang mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. I Dewa
Putu Wijaya, S.U, M.A dan Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum yang berjudul “Implikatur-Implikatur dalam Wacana Rubrik
‘Wong Solo Ngudarasa’ Solopos” ini bertujuan untuk mengkaji maksud dan
tujuan penutur yang terkandung secara eksplisit di balik Rubrik Warung Tegal dari tinjauan ilmu pragmatik. Dimana dengan analisis wacana dari
tinjauan prgamatik ini, penulis dapat menelaah hubungan tindak tutur dengan
konteks, waktu, keadaan atau hubungan pemakai bahasa (penutur dan mitar tutur),
serta hubungan makna dalam wacana dengan situasi ujaran.
B.
Analisis
Tindak Tutur RWTPS
Tindak tutur adalah hasil dari suatu kalimat dalam
kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi linguistik
yang dapat berupa pertanyaan, perintah, pertanyaan, dan sebagainya. Analisis
terhadap tindak tutur ini bertujuan untuk mengetahui tindak tutur yang
digunakan oleh tokoh-tokoh dalam RWTPS dalam berkomunikasi antar tokoh sendiri
maupun dalam upaya penyampaian informasi kepada pembaca rubrik.
Ujaran-ujaran dalam RWTPS dapat dikelompokkan
menjadi beberapa jenis tindak tutur, yaitu sebagai berikut :
1. Tindak
Tutur Literal-Tidak Literal
1.1 Tindak Tutur
Literal
Tindak
tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata
yang digunakan. Tindak tutur literal yang terdapat pada RWTPS adalah sebagai
berikut :
(1) Man Drai Nanggapi Omongane Man Dul
: “Nuwun sewu, yuswa 70 taun, secara
umum bae sawijine titah (manungsa) wis suda, wis kurang kemampuan
sagala-galane, ya physike, nuwun sewu maning, daya ingate, etos lan semangat
kerjane, (yaaa nyong apan nganggo hake nyong minangka warga Negara kanggo bebas
berpendapat…)” (RWTPS/17 Januari 2009/3)
(2) Man Dul Nimbrung : “Pancen iyaaaa,
sedulur-sedulur nang Klaten, Bantul kae nasibe saiki padha kepriben wis langka
sing ngaru biru, para korban lumpur panas Lapindo nang Sidoarjo pating glembor,
pating braok nuntut ganti rugi lan
perhatian maring kahanan lan nasibe pancen memelas.” (RWTPS/2007/23)
(3) Carman Nyambungi : “ Sing arane
legendha kuwe bisa diarani aset crita sing dimiliki sawijine dhaerah tertentu, sing mesthine bae ora kena digawe
sembarangan sakepenake dhewek, sebab bisa uga perlu dingerteni dening generasi
mudha nang dhaerah mau.” (RWTPS/2007/13)
Ketiga
tuturan pada kalimat (1), (2), dan (3) adalah tindak tutur literal, artinya apa
yang dimaksudkan oleh para penutur tersebut sama dengan makna leksikal
kata-kata yang yang digunakan untuk bertutur. Tuturan (1) maksudnya bahwa
seseorang yang sudah mencapai usia 70 tahun, pasti akan mengalami penurunan
dalam segala hal misalnya kemampuan dalam bekerja, kondisi fisik, daya ingat,
serta etos dan semangat kerjanya. Maksud tersebut sangat terlihat dari makna
semantik dari kata-kata yang digunakan oleh P1 yang ditandai dengan penanda
lingual “secara umum bae sawijine titah
(manungsa) wis suda”.
Tuturan
kalimat (2) memiliki maksud bahwa kondisi masyarakat di Klaten, Bantul, dan
Sidoarjo yang menjadi korban bencana sangat mengkhawatirkan dan menyedihkan,
serta sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah. Maksud tersebut dilihat
dari makna leksikal semantik pada pananda “pating
braok nuntut ganti rugi lan perhatian maring kahanan lan nasibe pancen
memelas”.
Demikian
juga dengan tuturan kalimat (3), maksud yang terdapat dalam tuturan tersebut
adalah bahwa legenda merupakan asset peninggalan berharga suatu daerah tertentu
yang tidak bisa dirubah secara sembarangan dan harus dimengerti serta dipahami
oleh para generasi muda penerus bangsa. Maksud tersebut terlihat pada penanda lingual
“sing mesthine bae ora kena digawe
sembarangan sakepenake dhewek, sebab bisa uga perlu dingerteni dening generasi
mudha”.
1.2 Tindak
Tutur tidak Literal
Tindak
tutur tidak lateral merupakan tindak tutur yang maksdunya tidak sama dengan
atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Tindak tutur ini bisa
memiliki maksud untuk menyindir, mengritik, memerintah, memberi saran, maupun
memohon mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu melalui maksud yang tersirat
dalam tuturannya. Tindak tutur tidak literal yang terdapat dalam RWTPS ini
adalah sebagai berikut :
(4) Man Dul Angkat Bicara : “…nang sisi
lain wong uga kemutan jasa-jasane Pak harto selawase 32 taun dadi penguwasa
nang negara kita, malah sing utama diteliti kasugihane kulawarga cendhana sing semana akehe termasuk dhuwit yayasan
sing 7 cacahe, asale saka ngendi …?” (RWTPS/2006/24)
(5) Guru Dwijo Nyambung Omongan: “…kula
malah gadhah panduwa ingkang kados memper inggih menika, damel sinetron nanging sungkan utawi boten purun, sisah-sisah ngarang
mendhet kemawon crita ingkang sampun wonten dipunmodhifikasi sekedhik,
antawisipun kanthi nggantos kostum pemain, nggantos kendharaan ingkang
dipunengge, rampung.” (RWTPS/2007/13)
(6) Carman Nutup Obrolan: “ …ari DPR
wis nyetujoni sawijine masalah upama RUU disyahaken dadi Undang-Undang, ateges rakyat (seluruhnya) dianggep wis
setuju maring keputusan mau, Astagfirullah hal adzim.”(RWTPS/17 Januari
2009/3)
Tuturan kalimat (4), (5), dan (6) adalah
tuturan kalimat tidak literal. Tuturan tersebut maksudnya tidak sekedar apa
dari makna leksikal dari kata-kata yang digunakan oleh penutur, tetapi ada
maksud lain yang tersirat dari tuturannya. Tuturan kalimat (4) memiliki maksud
tersirat yang berisi saran kepada Kejaksaan Agung agar lebih cermat dalam
mengusut kasus Pak Harto, tidak hanya Pak Harto yang diselidiki namun segala
aset dan riwayat kekayaan keluarga, serta bidang usaha milik Pak Harto juga
yang menjadi bahan penyelidikan. Maksud tersirat ini terlihat pada penanda
lingual “kasugihane kulawarga cendhana
sing semana akehe termasuk dhuwit yayasan sing 7 cacahe, asale saka ngendi …?”
Tuturan kalimat (5) berisi maksud
tersirat yaitu sebuah kritik terhadap para produser sinetron yang hanya
seenaknya sendiri ketika membuat sebuah sinetron dengan menjiplak atau
mengambil cerita yang sudah ada (legenda) kemudian dirubah sedemikian rupa
dalam beberapa aspeknya, sehingga tercipta sinetron baru. Maksud tersebut
tampak pada “damel sinetron nanging
sungkan utawi boten purun, sisah-sisah ngarang mendhet kemawon crita ingkang
sampun wonten dipunmodhifikasi sekedhik”.
Sedangkan tuturan kalimat (6) mengandung
makna tersirat sebuah sindiran terhadap pemerintah dimana yang dimaksud disini
adalah DPR selaku pihak yang berwenang mengesahkan RUU. DPR terkesan tidak
memperhatikan kepentingan dan keperluan rakyatnya, sehingga dalam menentukan
sebuah Undang-Undang terkesan semaunya sendiri dan rakyat harus senantiasa
menerima dan taat akan Undang-Undang tersebut. Maksud tersebut terlihat pada
lingual “…ateges rakyat (seluruhnya)
dianggep wis setuju maring keputusan mau…”
2. Tindak
Tutur Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
2.1 Tindak
Tutur Lokusi
Tindak
Tutur Lokusi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyampaikan sesuatu
atau informasi yang disampaikan oleh penutur (P1) kepada mitra tuturnya tanpa
ada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan
tuturnya.
Contoh
dari tindak tutur lokusi yang terdapat dalam RWTPS adalah sebagai berikut:
(7)Man
Dul Napuki Obrolan: “Nyong maca nang Koran lokal, senajan olih sorotan lan
kritikan sing werna-werna saka sawetara fihak, wusanane DPR RI ngesyahaken RUU
tentang perubahan kedua(kaping pindho0 atas UU No. 14 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.” (RWTPS/17 Januari 2009/3)
(8)Carman
Napuki Obrolan: “Wose pangandikan (nuwun sewu) sing kena diarani dhebat mau
ngrembug masalah pro lan kontra anane keputusan kanggo ngendhegaken usaha
pemeriksaan maring Pak Harto…”(RWTPS/2006/24)
(9)Drai
Nyambung: “Ari nyong njukut nang dunya “Perkorupsian”….hahaha…sing wektu kiye
lagi “ngetop” kasus korupsi sing ditindakaken dening mantan Kepala Bulog,
Wijarnako Puspoyo.” (RWTPS/2007/23)
Ketiga tuturan kalimat tersebut merupakan tindak tutur lokusi. Penutur
(P1) hanya bermaksud menyampaikan informasi kepada mitra tuturnya tanpa
memiliki maksud yang lain. Tuturan (7) memiliki maksud bahwa Man Dul
menginformasikan bahwa DPR RI telah mengesahkan RUU tentang perubahan kedua UU
No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Tuturan kalimat (8) juga memiliki
maksud untuk menyampaikan sebuah informasi bahwa acara debat membahas masalah
pro dan kontra tentang adanya keputusan untuk menghentikan usaha pemeriksaan
terhadap Pak Harto.
Begitu pula dengan tuturan (9) yang juga
hanya sekedar menyampaikan informasi. Drai menyampaikan bahwa kasus korupsi
yang sedang ngetop adalah korupsi
yang dilakukan oleh mantan Kepala Bulog, Wijarnako Puspoyo. Untuk itu, tindak
tutur lokusi berfungsi hanya untuk menyampaikan sebuah informasi tanpa memiliki
maksud lain.
2.2 Tindak
Tutur Ilokusi
Tindak
tutur ilokusi adalah tindak tutur yang disampaikan oleh penutur (P1) yang
memiliki maksud agar mitra tuturnya (P2) melakukan sesuatu. Dalam tindak tutur
ini, satu tuturan memiliki dua maksud, yaitu menyampaikan informasi dan
menyuruh mitra tutur (P2) melakukan sesuatu. Jadi, dalam menganalisis tindak
tutur ilokusi harus memperhatikan adanya konteks dalam tuturan tersebut.
(10) Drai Melu Nyambung: “ yaaa, maklum
wong nyong padha awam nang masalah hokum senajan ngarti kerepe sing didhebatake
ari mungguhe rika kepriben Man Dul maksudku
pemeriksaan Pak Harto kuwe apike diterusake apa diendheg bae?”
(RWTPS/2006/24)
Selain makna lokusi, tuturan (10) juga memiliki makna ilokusi. Makna
lokusi dari tuturan tersebut adalah Drai ingin menyampaikan bahwa dirinya hanya
manusia awam yang tidak paham hokum tetapi mengetahui maksud dari debat yang
dilakukan.Sedangkan makna ilokusinya yaitu Drai meminta Man Dul sebagi mitra
tutur (P2) untuk ikut berpikir dan berpendapat tentang masalah pemeriksaan Pak
Harto. Maksud tersebut terlihat pada penanda lingual “kepriben Man Dul maksudku
pemeriksaan Pak Harto kuwe apike diterusake apa diendheg bae”.
2.3 Tindak
Tutur Perlokusi
Tindak
tutur perlokusi merupakan tindak tutur yang disampaikan untuk mempengaruhi
mitra tuturnya (P2). Tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman mitra
tutur terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan. Tindak tutur perlokusi mengacu kepada
efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh penutur.
(11)
Drai Napuki Obrolan :
”Pancen ari dipikir-pikir, nyong rika kebeh (kudu) kudu luwih prihatin, yaaa
ora nyong karo rika thok, genahe tah seluruh bangsa Indonesia, ari esih rumasa
dadi warga Negara, esih rumasa duwe lan melu tanggung jawab maring keslametan
lan ketentramaning Negara kudu akeh
prihatine akeh luwih nyedhek lan luwih sregep anggone nenuwun maring Gusti Sing
Maha Welas Asih.”
Tindak tutur kalimat
mengandung tiga makna, yaitu makna lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Makna lokusi
dari tuturan tersebut adalah bahwa Drai menyampaikan bahwa dirinya sedang
berpikir kritis tentang kondisi yang sedang dialami bangsa Indonesia yang
sering dilanda musibah, baik musibah yang terjadi secara alami (bencana alam)
maupun masalah-masalah social di berbagai aspek kehidupan. Sedangkan makna
ilokusi dari tuturan tersebut adalah Drai secara tidak langsung mengajak atau
menyuruh mitra tuturnya (P2), Man Dul dan Guru Dwijo untuk ikut berpikir dan
mengritisi masalah-masalah yang sedang dialami bangsa Indonesia. Makna tersebut
dapat terlihat dari penanda lingual “Pancen
ari dipikir-pikir, nyong rika kebeh (kudu) kudu luwih prihatin, yaaa ora nyong
karo rika thok”.
Selain
mengandung makna lokusi dan ilokusi, tuturan juga mengandung makna perlokusi.
Makna perlokusi dari tuturan tersebut adalah dari pemikiran-pemikiran kritis
akan kondisi bangsa Indonesia, para masyarakat harusnya lebih merasa tanggung
jawab dan prihatin. Hal tersebut dapat diwujudkan salah satunya dengan lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penanda lingual dari maksud
tersebut terlihat pada “kudu akeh
prihatine akeh luwih nyedhek lan luwih sregep anggone nenuwun marign Gusti Sing
Maha Welas Asih”
C.
Maksud-Maksud yang
Terkandung dalam RWTPS
Sebuah
wacana yang merupakan tataran tertinggi dalam tingkat satuan bahasa, tentu saja
mengandung makna, maksud, dan tujuan tertentu dari apa yang tersebutkan dalam
wacana tersebut. Namun, dalam suatu wacana seorang penutur tidak selalu
mengungkapkan maksud tuturannya tersebut secara lateral atau secara langsung
sesuai kenyataan. Kadangkala, penutur memilih untuk menggunakan bahasa dan cara
penyampaian yang berbeda karena memperhatikan prinsip kesantunan maupun rasa
menghormati terhadap kepentingan orang lain agar apa yang penutur ungkapkan
tidak menyakiti perasaan orang lain atau pihak yang menjadi sasaran
pembicaraannya. Untuk itu, mitra tutur
(P2) harus bisa menafsirkan maksud yang tersirat dari tuturan penutur (P1)
dengan mmeperhatikan konteks yang melingkupi tuturan tersebut.
Berdasarkan
pengamatan, maksud-maksud yang terkandung dalam tuturan-tuturan RWTPS yaitu
sebagai berikut :
1.
Bermaksud Memberikan Informasi
Tuturan-tuturan yang
disampaikan para penutur dalam RWTPS memiliki maksud untuk menyampaikan
informasi-informasi atau memberitahukan sesuatu. Hal-hal yang diinformasikan
adalah permasalahan-permasalahan sosial, politik, ekonomi, hiburan, serta
musibah-musibah yang terjadi di Indonesia. Informasi-informasi tersebut
disampaikan oleh para penutur dengan menggunakan tindak tutur lateral dan
tindak tutur lokusi. Misalnya dalam tuturan berikut ini :
(12)
Carman Napuki Obrolan:
“Ari ora salah antarane malem Rebo utawa malem Kemis tengahe wulan Mei nyong
nonton dialog “dhebat” antarane Kepala Kejaksaan Agung Abdurahman Saleh SH karo
sawetara tokoh ahli hukum lan politik sing nyong ngarti asmane antarane Bapak
Amin Rais.” (RWTPS/2006/24)
Salah satu tuturan dalam
RWTPS tersebut (12) merupakan tuturan yang bermaksud menyampaikan informasi,
yaitu acara debat dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Agung Abdurahman Saleh SH dan
Bapak Amin Rais selaku tokoh ahli hukum dan politik.
2.
Bermaksud Memberikan Kritikan
Selain untuk
menyampaikan informasi, tuturan yang terdapat pada RWTPS bermaksud untuk
memunculkan kritikan-kritikan terhadap beberapa pihak beserta permasalahannya,
seperti kebijakan-kebijakan pemerintah, perilaku masyarakat dalam menghadapi
permasalahan-permasalan di berbagai aspek kehidupan yang terjadi, kondisi
sosial tempat-tempat tertentu di Indonesia, serta musibah-musibah ataupun
fenomena yang ada dan menyebabkan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat.
Kritikan-kritikan tersebut disampaikan oleh para penutur melalui tindak tutur ekspresif dengan
menggunakan bahasa dialek khas Tegal ngapak
dan ditanggapi oleh mitra tuturnya dengan bahasa ngapak pula.
Misalnya dalam tuturan
berikut ini :
(13)
Man Dul Napuki Obrolan:
“Ora nguja nyong nonton senetron legenda nang salah sijine stasiun televise,
ndeleng tayangane nyong kaget, lan uga eram dening ke sejen,…ora kaya kahanan
asline, upamane crita Sangkurian utawa Lutung Kasarung, sinetron mau settinge
kudu Tanah Pasundhan zaman kuna, kostum para pemaine nganggo klambi modern,
kemeja, dhasi, numpak mobil, umahe gedhong sing mewah lan liya-liyane, lhaaa
kuwe sih legendha apaaa?” (RWTPS/2007/13)
Tuturan (13) tersebut berisi kritikan Man Dul tentang
sinetron-sinetron di televisi yang tidak memperhatikan konsep sebenarnya dari
cerita yang diangkat. Alurnya menggunakan cerita lama seperti Sangkuriang dan
Lutung Kasarung, namun mengubah segala bentuk latar dan cara pemain sinetron
menggunakan kostum. Kesan akan cerita yang legendaris dan memiliki amanat
tentang kehidupan, tertutupi oleh kesan modern dan perubahan cerita yang
seenaknya sendiri. Sehingga, para penonton hanya menjadikan sinetron tersebut
sebagai hiburan belaka, padahal jika sang pembuat naskah dan sutradara mampu
mengemas cerita legenda dengan apik, akan menjadikan sinetron menjadi tontonan
yang menghibur dan juga memberikan pitutur-pitutur.
3.
Bermaksud Menyampaikan Pendapat
Tuturan-tuturan yang
dituturkan oleh para penutur RWTPS juga bermaksud untuk menyampaikan pendapat
mereka akan sesuatu hal. Hampir dalam setiap tuturannya, Man Dul, Carman, Drai,
maupun Guru Dwijo menyampaikan pendapatnya masing-masing akan permasalahan yang
sedang dibahas dalam konteks tersebut, selain beropini juga memberikan
sanggahan atas apa yang sudah dituturkan oleh penutur sebelumnya.
(14)
Man Dul Angkat Bicara: “
Pancen perkara kiye kena diarani perkara sing pelik, rumit, lan riskan utawa
kebak resiko, bisa diibarataken kaya buah simalakama, ari dipangan bapak mati,
ora dipangan ibu sing mati.”(RWTPS/2006/24)
Tuturan (14) yang
dituturkan oleh Man Dul tersebut merupakan opininya sendiri tentang
permasalahan penghentian pemeriksaan terhadap Pak Harto. Man Dul berpendapat
bahwa permasalahan ini merupakan permasalahan yang sangat rumit dan penuh
resiko, sehingga mungkin terdapat benyak kesulitan untuk mendapatkan
penyelesaiannya.
Begitu pula dengan tuturan yang disampaikan oleh Guru Dwijo
berikut ini:
(15)
Guru Dwijo Nyambung
Omongan: “…lhaa menika salah setunggaling kelemahan ingkang wonten ing bangsa
kita, sedherek sedherek kta, bangsanipun njiplak, nurun, sebangsanipun menika
panci ahli sanget.”(RWTPS/2007/13)
Guru Dwijo berpendapat bahwa kelemahan bangsa Indonesia yaitu
sangat akrab budaya plagiat atau menjiplak karya orang lain, yang kemudian
dirubah pada beberapa bagiannya.
4.
Bermaksud Menyuruh
Tuturan-tuturan RWTPS
yang bermaksud menyuruh disampaikan
melalui tindak tutur direktif. Tindak tutur direktif merupakan tindak tutur
yang menghendaki mitra tuturnya melakukan sesuatu. Misalnya maksud meyuruh
dalam tuturan berikut ini:
(16)
Drai Napuki Obrolan :
”Pancen ari dipikir-pikir, nyong rika kebeh (kudu) kudu luwih prihatin, yaaa
ora nyong karo rika thok, genahe tah seluruh bangsa Indonesia, ari esih rumasa
dadi warga Negara, esih rumasa duwe lan melu tanggung jawab maring keslametan lan
ketentramaning Negara kudu akeh
prihatine akeh luwih nyedhek lan luwih sregep anggone nenuwun maring Gusti Sing
Maha Welas Asih.”(RWTPS/2007/23)
Tuturan (16) tersebut Drai menyuruh kepada mitra tuturnya (Carman
dan Man Dul) beserta masyarakat Indonesia untuk lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan karena sudah banyak peringatan yang ditunjukkan oleh Tuhan melalui
musibah-musibah yang terjadi. Bangsa Indonesia harus lebih prihatin dan lebih
bertanggung jawab akan segala sesuatu yang terjadi.
D.
Penerapan Prinsip
Kesantunan
Prinsip
kesantunan berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang berkenaan dengan
sosial, estetika, dan moral dalam bertindak tutur. Seorang penutur ketika
menyampaikan informasi, maksud atau tujuan, amanat, dan tugas harus selalu
menjaga dan memelihara hubungan antara penutur itu sendiri dangan mitra
tuturnya.
Prinsip-prinsip
kesantunan yang memiliki sejumlah maksim ini diterapkan tokoh-tokoh dalam
RWTPSdalam melakukan percakapan.
Adapun
maksim-maksim kesantunan yang diterpakan dalam RWTPS ini adalah maksim
kecocokan, maksim kerendahan hati, dan maksim kebijaksanaan.
1. Maksim Kecocokan
Maksim kecocokan dalam
prinsip kesantunan diungkapkan dengan tindak tutur yang bersifat ekspresif dan
asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan mitra tuturnya untuk
memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan di
antara mereka.
Maksim kecocokan terdapat pada contoh tindak
tutur berikut ini:
(17)
Man Dul Napuki Obrolan:
“Ora nguja nyong nonton senetron legenda nang salah sijine stasiun televise,
ndeleng tayangane nyong kaget, lan uga eram dening ke sejen,…ora kaya kahanan
asline, upamane crita Sangkurian utawa Lutung Kasarung, sinetron mau settinge
kudu Tanah Pasundhan zaman kuna, kostum para pemaine nganggo klambi modern, kemeja,
dhasi, numpak mobil, umahe gedhong sing mewah lan liya-liyane, lhaaa kuwe sih
legendha apaaa?” (RWTPS/2007/13)
(18)
Drai Nimpali :”Bener Man
Dul, nyong ya tau nonton lan bingung, dadi rupane karepe si pembuat naskah lan
ide crita, alur critane miturut legenda upamane Sangkuriang.”(RWTPS/2007/13)
Ujaran (18) yang diungkapkan Drai menunujukkan adanya kecocokan
dengan ujaran (17) yang diucapakan oleh Man Dul. Drai menyetujui pernyataan
yang sebelumnya diungkapakan oleh Man Dul. Ujaran Drai terlihat lebih santun dan
cocok ketika memberi tanggapan sehingga dalam percakapan tersebut Nampak sekali
terdapat keselarasan dalam membicarakan suatu masalah, yaitu permasalahan
tentang sinetron-sinetron jaman sekarang yang menggunakan cerita legenda yang
dirubah dengan seenaknya sendiri tanpa memperhatikan hal-hal yang sebaiknya
tidak dirubah.
2. Maksim Kerendahan Hati
Maksim kerendahan hati
juga diungkapkan dengan kalimat eksresif dan asertif. Maksim kerendahan hati
menuntut setiap penutur untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri
dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
Maksim ini terdapat pada ujaran berikut:
(19)
Guru Dwijo: “Malah kula
kinten tiyang-tiyang menika boten anggadhahi pikiran ngantos samanten Mas
Carman.”(RWTPS/2007/13)
Ujaran
(19) yang diucapkan oleh Guru Dwijo tersebut merupakan penerapan maksim
kerendahan hati. Dalam ujaran tersebut, Guru Dwijo menggunakan basa krama, sedangkan tokoh-tokoh
sebelumnya hanya menggunakan basa ngoko.
Basa karma merupakan tingkatan bahasa
dalam bahasa Jawa yang merupakan bahasa yang paling sopan, yaitu digunakan
untuk menghormati mitra tuturnya.
3. Maksim Kebijaksanaan
Maksim kebijaksanaan
diungkapkan dengan tuturan imposif dan komisif. Maksim ini meminimalkan
kerugian bagi orang lain.
Maksim ini terdapat pada ujaran berikut ini:
(20)
Man Drai: “Nuwun
sewu, yuswa 70 taun, secara umume bae sawijine titah (menungsa) wis suda,
wis kurang kemampuan segala-galane, ya fisike, ya nuwun sewu maning, daya ingate, etos lan semangat
kerjane.”(RWTPS/17 Januari 2009/3)
Penggunaan kata nuwun sewu dalam ujaran (20) tersebut merupakan bantuk penerapan
maksim kebijaksanaan. Walaupun Man Drai membicarakan dan mengkritik orang lain,
namun Drai menggunakan kata nuwun sewu
(maaf) sebagai bentuk kebijaksanaannya guna menghormati orang yang sedang
dibicarakan, serta menghindari munculnya rasa sakit hati bagi orang yang
dibicarakan.
E. Penerapan Prinsip Kerja Sama
Dalam
berkomunikasi, seorang penutur dan mitra tuturnya selalu mengharapkan adanya
sebuah kelancaran dalam proses komunikasi tersebut. Kelancaran komunikasi
tersebut diperoleh bukan hanya karena unsur-unsur kebahasaan secara struktural
saja, namun harus diperhatikan pula prinsip-prinsip penggunaan bahasa oleh
penutur dan mitra tuturnya. Dan salah satu prinsip yang harus diperhatikan
tersebut adalah prinsip kerja sama dalam penggunaan bahasa. Dengan menggunakan
prinsip kerja sama ini akan sangat membantu mitra tutur dalam memahami sebuah
ujaran yang disampaikan oleh penutur dan seminimal mungkin bisa menghindari
kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Prinsip
kerja sama juga diterapkan dalam ujaran-ujaran yang terdapat dalam RWTPS ini.
Dalam melakukan percakapan, para tokoh dalam rubrik ini berusaha menggunakan
prinsip kerja sama agar maksud yang ingin disampaikan dapat diterima oleh mitra
tutur dan para pembaca. Adapun maksim dalam prinsip kerja sama yang diterapkan
dalam RWTPS ini adalah maksim
1.
Maksim kualitas
Maksim kualitas
merupakan maksim yang mewajibkan setiap peserta percakapan dalam menuturkan
ujarannya harus didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Maksim ini terdapat
pada ujaran berikut ini:
(21)
Man Dul Napuki Obrolan:
“Ora nguja nyong nonton senetron legenda nang salah sijine stasiun televisi,
ndeleng tayangane nyong kaget, lan uga eram dening ke sejen,…ora kaya kahanan
asline, upamane crita Sangkurian utawa Lutung Kasarung, sinetron mau settinge
kudu Tanah Pasundhan zaman kuna, kostum
para pemaine nganggo klambi modern, kemeja, dhasi, numpak mobil, umahe gedhong
sing mewah lan liya-liyane, lhaaa kuwe sih legendha apaaa?” (RWTPS/2007/13)
(22)
Drai Nimpali :”Bener Man
Dul, nyong ya tau nonton lan bingung, dadi rupane karepe si pembuat naskah lan
ide crita, alur critane miturut legenda upamane Sangkuriang.”(RWTPS/2007/13)
Ujaran (21) yang dituturkan oleh Man Dul tersebut memberikan
kontribusi terhadap maksim kualitas. Man Dul mengungkapkan rasa keheranannya
akan sinetron yang menggunakan cerita legenda namun tidak mewakili sama sekali
cerita tersebut. Seharusnya cerita legenda harus sesuai dengan latar dan
jamannya. Misalnya cerita Sangkuriang yang harus berlatar Tanah Pasundan dan
keadaannya juga harus dibuat sedemikian rupa sesuai apa yang digambarkan dalam
cerita tersebut. Penyelewengan cerita lama tersebut dikuatkan dengan banyak
alasan, seperti kostum yang modern, trasportasi yang digunakan kendaraan mewah,
dan juga seting tempatnya yang biasanya menggunakan gedung-gedung besar dan
bertingkat.
2.
Maksim Relevansi
Maksim relevansi
mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan
dengan masalah yang sedang dibicarakan. Misalnya terdapat dalam ujaran berikut
ini:
(23)
Man Dul : “Fraksi PPP
lan PDIP sing ora setuju perpanjangan usia pensiun Hakim Agung dadi 70 taun
(umume 65 taun), lan PDIP menehi dalan tengah dadi 67 taun.”
(24)
Man Drai : “namung
anggere ndeleng usia nganti 70 taun, sing maune 65 taun jare aku pencene ora
patia pas.” (RWTPS/2009/3)
Ujaran (23) dan (24) memberikan kontribusi maksim relevansi karena
dalam ujaran tersebut Man Dul memberikan suatu informasi yang kemudian
ditanggapi oleh Man Drai yang relevan dengan apa yang sedang dibicarakan.
F.
Implikatur-Implikatur
dalam RWTPS
Implikatur
adalah ujaran atau pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang
sebenarnya diucapkan. Pemahaman terhadap implikatur akan lebih mudah jika
penulis/penutur (P1) dan pembaca/mitar tutur telah saling berbagi pengalaman.
Pengalaman dan pengetahuan akan berbagai konteks yang melingkupi tindak tutur
yang diucapkan akan sangat membantu mitra tutur dalam memahami implikatur yang
terkandung dalam ujarannya.
Implikatur
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu implikatur konvensional dan implikatur
konversasional. Implikatur konvensional adalah implikasi atau pengertian yang
bersifat umum dan konvensional. Semua orang pada umumnya sudah mengetahui dan
memahami maksud tersebut. Pemahaman terhadap pemahaman ini menganggap pembaca
atau mitra tutur sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman umum. Sedangkan yang
dimaksud dengan implikatur konversasioanal atau percakapan adalah implikatur
yang muncul dalam suatu percakapan. Oleh karena itu, sifatnya temporer (terjadi
saat terjadinya percakapan) dan non-konvensional (sesuatu yang diimplikasikan
tidak memiliki relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan).
Adapun
ujaran-ujaran yang terdapat dalam RWTPS ini merupakan ujaran yang termasuk
dalam implikatur konversasional karena rubrik ini dikemas dalam bentuk
percakapan. Dalam percakapan tersebut mengandung banyak sekali
implikatur-implikatur dari setiap ujaran Drai, Carman, Man Dul, maupun Guru
Dwijo. Dengan pemahaman akan konteks yang ada, berikut ini
implikatur-implikatur yang terdapat dalam RWTPS :
(25)
Drai Nyambung :
“kekayaane nang kota kelairane kesiguhane angel dietung nganti ana “dalem
bangsawan” uga dituku terus direnovasi …apa ora saparo swarga dunya …!”
(RWTPS/2007/23)
Ujaran (25) yang diucapkan Drai tersebut merupakan suatu bentuk
keprihatinan dan perasaan tidak puasnya terhadap perilaku salah satu petinggi
Negara yang tidak mampu mengemban apa yang sebenarnya menjadi tugas dan
tanggungjawabnya. Kepercayaan masyarakat yang diberikan kepadapara pejabat
diselewengkan dengan melakukan tindak korupsi. Dengan tindakan korupsinya,
pejabat tersebut mampu menimbun kekayaannya bahkan bisa dikatakan hartanya
sangat berlebihan sampai mampu melakukan segala hal tanpa memandang
kesengsaraan rakyat yang berada dibawah kepemimpinannya. Ujaran Drai tersebut
juga bermaksud memberikan kritik kepada para pejabat agar lebih sadar dan bisa
mengintrospeksi dirinya sendiri.
(26)
Guru Dwijo: “Malah kula
kinten tiyang-tiyang menika boten anggadhahi pikiran ngantos samanten Mas
Carman.”(RWTPS/2007/13)
Ujaran (26) yang disampaikan Guru Dwijo tersebut bukan hanya
bermaksud untuk menyebutkan pikiran para sutradara atau pembuat film saja. Guru
Dwijo juga memiliki maksud bahwa para sutradara sebenarnya juga harus berpikir
agar bisa membuat sinetron yang lebih bermutu yang tidak hanya mengambil dari
cerita-cerita lama yang kemudian dirubah dengan seenaknya sendiri. Ujaran
tersebut juga mengandung suatu kritikan sekaligus anjuran bagi para sutradara
untuk lebih mementingkan kualitas dan pembelajaran moral dari setiap sinetron yang
dibuatnya.
(27)
Drai Melu Nyambung :
“Yaaa, terus terang bae nyong ora bisa nirokaken dhebate wong-wong pinter mau,
yaaa maklum wong nyong padha awam nang masalah hukum senajan ngarti karepe sing
didhebatake ari mungguhe rika kepriben Man Dul maksudku pemeriksaan Pak Harto
kuwi apike diterusaken apa diendheg bae?”(RWTPS/2006/24)
Ujaran (27) yang disampaikan Drai tersebut juga mengandung
implikatur. Melalui ujaran “terus terang bae nyong ora bisa nirokaken
dhebate wong-wong pinter mau” tersebut, Drai memiliki maksud bahwa
orang-orang dalam acara debat tersebut sebenarnya orang-orang pandai. Namun,
kadang kepandaian dan kemampuannya tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik,
karena tidak melihat kondisi di sekitarnya.
(28) Carman Nutup Obrolan: “ …ari DPR
wis nyetujoni sawijine masalah upama RUU disyahaken dadi Undang-Undang, ateges
rakyat (seluruhnya) dianggep wis
setuju maring keputusan mau, Astagfirullah hal adzim.”(RWTPS/17 Januari 2009/3)
Ujaran (28) tersebut mengandung
implikatur yaitu rakyat yang sudah dianggap sudah setuju dengan pengesahan RUU
tersebut tidak hanya setuju saja dan harus mengikuti juga apa yang sudah
menjadi ketetapan DPR. Padahal mungkin hanya sebagian rakyat yang menyetujui
RUU tersebut. Namun, semua rakyat yang pro dan kontra harus tunduk dan
menjalankan keputusan tersebut.
G. Penutup
Analisis wacana rubrik “Warung Tegal” Panjebar
Semangat dari segi ilmu pragmatik yang sudah dilakukan ini setidaknya mendapat
beberapa kesimpulan. Ujaran-ujara dalam RWTPS ini bertujuan untuk menyampaikan opini, gagasan,
kritikan, saran, serta sekedar memberikan suatu informasi kepada mitra tutur
serta para pembaca. RWTPS menggunakan berbagai jenis tindak tutur untuk
menyampaikan maksud atau pesan penutur. Dalam ujaran-ujaran tersebut mengandung
implikatur-implikatur yang diketahui dengan pemanfaatan konteks dan pengetahuan
yang melingkupi tindak tutur tersebut.